Berkeringat dapat ‘dingin’ atau ‘panas.’ Istilah ‘dingin’ dan ‘panas’ merujuk pada suhu kulit sewaktu berkeringat. Keringat dingin adalah reaksi spontan tubuh terhadap ancaman jiwa atau stress berat yang akut. Sedangkan berkeringat panas, adalah reaksi spontan tubuh terhadap naiknya suhu akibat penyakit atau lingkungan. Walaupun berkeringat ‘panas’ (selanjutnya disebut ‘berkeringat) adalah faal normal tubuh, pada beberapa orang reaksi tersebut dapat berlebihan. Makalah ini mengacu pada keadaan terakhir tersebut di atas, yaitu keringat berlebihan.

Kinerja Berkeringat

Berkeringat adalah salah satu faal otomatis atau di luar kesadaran kita. Seperti faal otomatis lainnya, berkeringat dikendalikan oleh susunan saraf otonom yang berpusat di otak. Aparat pengatur suhu, adalah kelenjar-kelenjar keringat yang berjumlah sekitar 2-4 juta dan tersebar di seluruh tubuh. Urutan bagian tubuh berdasar kepadatan kelenjar keringatnya adalah: telapak tangan-kaki, dahi, lengan, sosok tubuh dan tungkai.
Kenaikan suhu badan / linkungan, emosi, hormon-hormon tertentu dan kegiatan fisik merangsang otak untuk mengalirkan darah ke kulit, memacu kelenjar keringat, serta membuka pori-pori kulit. Lapisan sel-sel kulit berfungsi sebagai saringan yang menyerap kembali garam. Keringat yang hanya berupa air kemudian menguap dengan mengisap panas badan, sehingga suhu tubuh turun.

Keringat berlebihan


Berdasar penyebabnya, gangguan kesehatan ini dibagi dalam dua tipe: keringat berlebihan tanpa diketahui penyebabnya (Primary hyperhidrosis) dan yang diketahui penyebabnya (Secondary hyperhidrosis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa primary hyperhidrosis adalah penyakit keturunan (kelainan genetik.) Seperti kelainan genetik lainnya, primary hyperhidrosis dapat timbul sejak anak-anak. Kasus terbanyak adalah dewasa muda (di bawah 25 tahun). Keringat terjadi terutama pada bagian-bagian tubuh yang padat dengan kelenjar keringat (telapak tangan-kaki; dahi dan ketiak). Diagnosa baru ditegakkan bila hyperhidrosis sekurang-kurangnya terjadi sekali seminggu dan hanya terjadi di siang hari.
Penyebab secondary hyperhidrosis antaranya: cedera tulang punggung, kecanduan minuman keras / obat terlarang, stres, kencing manis, penyakit jantung, hiperaktif kelenjar thyroid (kelenjar didepan tenggorokan), kegemukan, kegagalan pernapasan, berbagai kanker, ruam saraf (shingles), Malaria, TBC, dan obat-obatan. Dampak negatif dari keringat berlebihan adalah: rasa rendah diri, takut bergaul, dan depresi.

Penanganan dan Pencegahan


Pengobatan pada primary diarahkan pada gejala-gejala dan dampak kejiwaannya. Pada secondary hyperhidrosis selain untuk mengatasi gejala-gejala dan dampaknya, pengobatan terutama diarahkan pada penyebabnya. Oleh karena penyebabnya diketahui, secondary hyperhidrosis dapat disembuhkan, tetapi tidak demikian halnya dengan primary.
Penanganan gejala-gejala semua tipe hyperhidrosis adalah sebagai berikut:

Mengatur pola gaya hidup:
* hindari pakaian ketat dan yang terbuat dari nilon
* hindari memakai sepatu / sandal dari bahan sintetik (lebih baik dari kulit)
* pilih kaus kaki yang tidak ketat dan terbuat dari bahan yang mudah
menyerap keringat (bahan alamiah yang tebal dan lembut)
* pada kegiatan-kegiatan tertentu, gunakan kaus tangan
* gunakan cairan penyerap keringat (anti-perspirant), bukan pengharum
tubuh (deodorant), karena deodorant tidak dapat menyerap keringat;
anti-perspirant seyogyanya hanya digunakan pada malam hari dengan
terlebih dahulu mencuci dan mengeringkan telapak
* hindari sauna, minum kopi, minuman beralkohol, pedas. dan daging merah
* atasi kecemasan melalui meditasi dan mempertebal hidup keagamaan

Pemakaian peralatan medik – Iontophoresis:
Iontophoresis adalah mesin untuk menutup pori-pori kulit. Telapak tangan dan kaki direndam dalam bak berisi air yang dialiri listrik bervoltasi rendah. Aliran listrik ini menggiring elektrolit (mineral air) untuk menutup pori-pori kulit, sehingga keringat tidak dapat lagi keluar. Diperlukan sekitar 10X pengobatan, dan untuk mencegah kekambuhan, pengobatan ulangan dilakukan secara berkala, sesuai keadaan pasien. Pada awalnya, terapi dilakukan di bawah pengawasan dokter. Untuk selanjutnya dapat dilakukan di rumah pasien dengan alat yang dibeli melalui resep dokter. Iontophoresis sedikit menimbulkan rasa sakit. Dokter baru menganjurkannya bila dengan pola hidup, hyperhidrosis tak teratasi. Keberhasilan terapi ini sekitar 81%.

Tindakan medik:
Penyuntikan dengan racun saraf yang berasal dari bakteri: Botox / BTX. BTX juga banyak dipakai di bidang kosmetologi untuk menghilangkan keriput kulit muka. Cara ini lebih nyeri ketimbang iontophoresis. Hanya tenaga medis yang berpengalaman dan mendapat latihan khusus saja memperoleh izin untuk melakukan suntikan BTX. Penyuntikan BTX mampu menekan gejala hyperhidrosis selama empat hingga enam bulan dengan kesuksesan sekitar 82-87%.
Bila semua cara telah ditempuh dan primary hyperhidrosis tetap bandel maka baru dipikirkan tindakan yang lebih agresif yaitu pembedahan: Endoscopic Thoracic Sympathectomy Surgery (ETS). Pada ETS, dokter membuat sayatan sepanjang 3-4 milimeter di kedua ketiak atau dada atas. Melalui sayatan tersebut dimasukkan endoscope (alat optik mikro) yang dilengkapi pisau untuk memotong saraf otonom yang keluar dari tulang belakang dada.

Walaupun sayatannya hanya beberapa milimeter, pembedahan ini termasuk pembedahan besar (major surgery). Komplikasi pasca bedah yang sangat sering terjadi adalah compensatory sweating, yaitu hyperhidrosis yang lebih luas di bagian tubuh lain seperti punggung dan pantat. Berdasar pertimbangan komplikasi tersebut, banyak dokter yang enggan untuk menganjurkan ETS kepada pasien-pasiennya.
Para pengidap hyperhidrosis (terutama tipe primary) tidak perlu putus asa. Perusahaan-perusahaan farmasi sedang berlomba membuat obat-obatan untuk mengatasi gangguan kesehatan ini. Penemuan terakhir: Qbrexza, berupa usapan (medicated wipe) untuk digunakan di ketiak, namun juga dapat diusapkan di bagian tubuh lainnya. Dengan mengusap sekali dalam sehari selama 4 minggu, 25-30 % pasien dengan primary hyperhidrosis berat merasakan keringat berkurang 50%.

Oleh Dr. Poew Tjoen Tik, MPH
Purnawirawan Research Associate University of Oklahoma
– Alumni FK Unair –
berdomisili di Texas – USA