Guna mengurangi risiko kanker, masyarakat disarankan lebih banyak mengonsumsi makanan lokal yang menggunakan bahan baku alami dan diolah secara tradisional. Selain itu, harus mengonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan segar, karena pada keduanya terdapat banyak zat yang bersifat antioksidan.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Muhammad Sulchan, menjelaskan, memakan tahu dan tempe berbahan kedelai lokal lebih sehat dibanding kedelai impor dari Amerika Serikat yang masuk kategori genetically modified food (GMF). Kedelai GMF banyak ditolak negara-negara Eropa.

Sulchan mengungkapkan, kasus kanker usus besar di Tanah Air menunjukkan peningkatan. Pada 1934, hanya ditemukan satu kasus, lalu pada 1937 menjadi tujuh, dan saat ini prevalensinya sekitar 1,8 per 100.000 penduduk. Di AS, kata Sulchan, angka kejadiannya 40 per 100.000 orang, Eropa (30), Jepang (13), India (9), dan Nigeria 2,5 kasus per 100.000 penduduk.

“Dibandingkan prevalensi di AS dan negara maju lainnya, kasus kanker usus besar di Indonesia memang masih rendah. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengurangi jumlah pengidapnya,” ujarnya.

Hal senada dikemukakan Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia, Prof Suhartati, bahwa saat ini dunia terancam ledakan penyakit kanker dalam kurun waktu 25 tahun ke depan. Diperkirakan, akan ada 84 juta orang meninggal akibat penyakit kanker. Ledakan kanker terutama terjadi di negara berkembang, akan ada peningkatan penderita kanker sebanyak 300 persen pada 2030.

Penyebabnya, menurut Suhartati, karena penyakit kanker termasuk dalam neglected endemic atau penyakit yang tanpa gejala. Akibat ketidaktahuan akan penyakit itulah yang membuat masyarakat tidak melakukan pencegahan dini.

Hal ini dibuktikan dengan pasien yang datang sudah pada kondisi stadium lanjut. Mereka datang dalam kondisi stadium advanced dan local advanced atau stadium 4.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga, kanker merupakan penyebab kematian nomor lima di Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir, angka penderita kanker bertambah dari 3,64 persen tahun 1981 menjadi enam persen pada tahun 2001.

Kanker Payudara

Data American Cancer Society mencatat, penyebab kematian terbesar pada wanita di dunia adalah kanker payudara (19 persen), kanker paru-paru (18,5 persen), serta kanker kolon dan rektum (15 persen). Pada pria, penyakit kanker didominasi oleh kanker paru-paru (34 persen), kanker kolon dan rektum (12 persen), serta kanker prostat (10 persen). Diperkirakan, 80-90 persen kanker disebabkan oleh faktor-faktor yang terkait dengan lingkungan dan makanan.

Dalam studi menggunakan hewan percobaan terbukti bahwa pembatasan makanan tertentu dapat mencegah pertumbuhan berbagai tumor. Teori yang mendasari hal itu ialah dengan pembatasan makanan akan menyebabkan perubahan hormonal di dalam tubuh, sehingga proses tumorigenesis (pembentukan tumor) menjadi terhambat.

Makanan yang kaya akan lemak berkaitan erat dengan munculnya kanker usus dan kanker payudara. Sedangkan kandungan lemak yang rendah dan konsumsi serat yang tinggi, seperti pada pola makan vegetarian, dapat menekan jumlah penderita kanker.

Tumorigenesis akan semakin berkembang pada pola makan yang rendah lemak tak jenuh ganda. Lemak tak jenuh, baik tunggal maupun ganda, selama ini dikenal sebagai lemak yang bermanfaat bagi pencegahan penyakit jantung koroner. Bahan nabati seperti kacang-kacangan umumnya kaya akan lemak tak jenuh.

Hormon tertentu diduga ikut bertanggung jawab pada munculnya tumor. Pengeluaran hormon itu dipicu oleh konsumsi lemak yang tinggi. Contohnya adalah hormon prolaktin (serum) yang merangsang pertumbuhan tumor, ternyata kadarnya semakin meningkat apabila makanan yang kita konsumsi kaya akan kandungan lemak.

Ketika kita memasak daging, terbentuklah senyawa HCA (senyawa amina-amina heterosiklis) yang dipercaya dapat mengakibatkan kanker. HCA muncul sebagai reaksi antarprotein hewani selama proses pemasakan atau browning (pencokelatan). Semakin sedikit HCA yang terbentuk, semakin sehat daging yang kita konsumsi.

Namun, Suhartati mengakui, banyak orang yang tidak tahu bahwa cara memasak makanan ternyata sangat mempengaruhi jumlah HCA yang terbentuk. Menurutnya, memanggang daging di dalam oven akan menghasilkan HCA lebih sedikit dibandingkan dengan menggoreng, membakar, atau memanggang di atas kompor yang suhunya tinggi.

Sedangkan merebus secara perlahan-lahan dengan panas bertahap, mengukus atau memasak dengan oven, praktis tidak menghasilkan HCA. Berbagai perco- baan pada hewan menunjukkan, HCA berpotensi mengakibatkan kanker usus besar, payudara, pankreas, hati, dan kandung kemih.

Studi yang dilakukan New York University Medical Center mengemukakan bahwa wanita yang rajin makan daging merah memiliki peluang menderita kanker payudara dua kali lipat, dibandingkan mereka yang hanya makan daging unggas dan ikan. [SP/Eko B Harsono]