Oleh: Pouw Tjoen Tik

Bayi tabung mengingatkan penulis akan pesan seorang ibu sewaktu penulis baru lulus dari perguruan tinggi dan ditugaskan di daerah terpencil. Momongan yang didambakan puluhan tahun oleh pasangan suami-isteri (pasutri) ini tidak kunjung datang jua. Namun, apa dikata, dunia kedokteran baru mengenal bayi-bayi tabung dalam tahun 1978. Gebrakan penanggulangan “kemandulan” inipun tak urung masih sarat dengan kritikan, karena dipandang sebagai tindakan non-etis, bahkan a-moral. Kecaman yang lebih bersifat kutukan tersebut sempat membuat salah seorang perintisnya stres hebat dan bunuh diri. Baru dalam tahun 1981, teknik pembuahan di luar rahim secara bertahap dapat diterima masyarakat luas.

Kemandulan

Bila pasutri gagal memperoleh keturunan, maka biasanya tudingan pertama diarahkan kepada sang istri. Pria sukar menerima kemandulan karena menyangkut harkat kejantanannya, sehingga memeriksakan diri pun enggan dilakukan. Padahal, statistik menunjukkan bahwa penyebab kegagalan pembuahan 50 persen datangnya dari pihak suami dan 50 persen dari pihak istri.

Di luar penyakit dan kelainan anatomi, kemandulan pada pria secara umum erat hubungannya dengan industrialisasi dan kemajuan teknologi. Radiasi, gelombang elektro-magnetik, berbagai zat kimia, dan pemanasan global, menurunkan kuantitas dan kualitas sperma dalam lima dekade terakhir ini. Gaya hidup yang diwarnai dengan penggunaan narkoba, minuman keras, merokok, dan stres, turut pula mengorkestrai kemandulan kaum pria.

Berdasarkan kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk terjadinya kehamilan diperlukan sekurang-kurangnya: 2 ml cairan ejakulasi (semen) yang mengandung 40 juta sperma, 75 persen daripadanya harus hidup, 30 persen normal bentuknya, dan 25 persen bergerak cepat, atau 50 persen bergerak maju walaupun lambat. Hasil pengobatan hormonal baru tampak setelah tiga bulan, sesuai waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan dan pematangan sperma.

Di luar berbagai penyakit dan kelainan anatomi, faktor usia merupakan penentu utama bagi tingkat kesuburan seorang wanita. Kesuburan pada wanita mulai menurun pada usia 27-30 tahun. Penurunan ini makin melaju pada usia 38-42 tahun. Para ibu di bawah 35 tahun yang gagal hamil setelah berupaya keras selama setahun atau di atas 35 tahun dengan upaya selama enam bulan, perlu diteliti tingkat kesuburannya (University of California San Francisco, Medical Center: Mei 2007)

Rekayasa Bayi Tabung

Istilah kedokteran bayi tabung adalah Intra-Cystoplasmic Semen Injection atau disingkat ICSP. Secara umum, rekayasa medik ini disebut pula In-Vitro Fertilization (IVF). Arti harfiah dari in-vitro adalah “dalam (tabung) gelas”, sehingga teknik ini diterjemahkan sebagai hasil pembuahan (=bayi) tabung.

Di luar pemeriksaan dan persiapan awal, seperti penentuan tingkat kesuburan suami-istri, pemberian hormon penyubur, serta penentuan masa pelepasan telur, ICSP terdiri atas tiga tahap.

Tahap pertama adalah penyedotan telur yang telah masak dari kandung telur si wanita (ovarium). Prosedur ini dilakukan di bawah pembiusan, karena penyedotan telur dilakukan dengan menggunakan jarum mikroskopis melalui jalan lahir (transvaginal).

Pada tahap kedua, sperma si suami yang diambil secara alamiah atau melalui pembedahan kecil (vasectomy), disuntikkan ke dalam telur. Penyuntikan ini dilakukan di dalam piringan plastik atau gelas yang mengandung media (cairan nutrisi untuk kelangsungan hidup sel-sel). Dalam tahap ini, digunakan berbagai alat medis mikroskopik (micromanipulator, microinjector, dan micropipettes).

Sebutir telur difiksasi dengan mikropipet, dan sebuah sperma disuntikkan dengan microinjector menembus kulit telur (zona pellucida) ke dalam cairan sel telur (cytoplasma). Dalam proses ini, sekaligus disuntik beberapa telur, masing-masing dengan sebuah sperma. Bila telur masak yang disedot berjumlah 6-8 buah, maka dilakukan split-ICPS. Pada split-ICPS, hanya separuh dari jumlah tersebut disuntik sperma, sisanya dieramkan dengan semen. Bila pembuahan terjadi pada pengeraman, maka prosesnya adalah alamiah, dan risiko rusaknya telur karena penyuntikan dapat dihindari. Pilihan ini juga dilakukan bagi pasutri yang ingin mengetahui tingkat kesuburannya.

Pemindahan Janin

Tahap ketiga adalah pemindahan telur yang telah dibuahi ke dalam rahim si calon ibu. Beberapa hari sebelumnya, dilakukan peneropongan rahim melalui jalan lahir (hysteroscopy) untuk menentukan kondisi selaput dalam (endometrium) dan ukuran rahim. Pemindahan janin dilakukan dengan kateter khusus (dari plastik) melalui jalan lahir.

Prosedur ini sama sekali tidak nyeri, sehingga tidak dibutuhkan pembiusan. Pasien hanya diberi penenang untuk menghindari kontraksi rahim. Sebagai standar, dengan hati-hati dua buah telur yang telah dibuahi (janin) dimasukkan ke dalam rahim (1 cm di bawah kubah atas rahim atau fundus uteri). Janin yang terdiri dari 8 sel (blastocyst) ini telah berusia lima hari terhitung sejak disedotnya telur atau tiga hari setelah pembuahan. Untuk menghindari kembar dua, kini banyak klinik yang memindahkan janin tunggal ke dalam rahim.

Indikasi utama ICPS adalah untuk mengatasi kemandulan pria. Teknik ini terus dikembangkan sehingga risiko kerusakan telur akibat penyuntikan dapat ditekan (kurang dari lima persen) dan risiko cacat bawaan pada ICPS pun menjadi sama besarnya dengan pada kehamilan secara alamiah. Walaupun sekitar 80 persen dari telur-telur berhasil dibuahi, namun secara keseluruhan, keberhasilan ICPS hanya sekitar 30 persen. Kegagalan ICPS terutama disebabkan oleh terhentinya proses pembelahan sel-sel atau ketidakberhasilan janin tertanam dalam dinding rahim, sehingga terjadi keguguran.

Penulis adalah alumnus Fakultas Kedokteran Unair, berdomisili di Aus tin, Texas, USA