Bergurulah kepada Rektor Baru UI
Oleh S. SAHALA TUA SARAGIH

PEMIMPIN perguruan tinggi (PT) yang tergolong sangat pintar di negeri
ini pastilah banyak, baik yang berstatus rektor, ketua, direktur,
maupun yang berstatus dekan, ketua jurusan atau apa pun sebutannya.
Akan tetapi, pemimpin PT yang tergolong sangat cerdas (dalam arti
luas) pastilah langka sekali. Di antara yang sangat langka itu
tersebutlah Rektor Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, yang
baru, Prof. Dr. Gumilar Rusliwa Somantri.

Panggilan akrabnya Unang. Usianya masih sangat belia. Unang menjadi
pemimpin (rektor) termuda universitas tertua tersebut. Guru besar
sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI itu
lahir di Desa Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat 11 Maret
1963. Selama ini, jabatan Rektor UI didominasi dosen Fakultas
Kedokteran (FK). Unang merupakan orang ketiga yang bukan dosen FK yang
berhasil meraih kedudukan yang sangat penting itu.

Memangnya apa sih kehebatan Unang? Secerdas apakah dia? Mengapa kita
menganjurkan para pemimpin PT di negeri ini untuk berguru kepadanya?
Apakah bahan kampanyenya yang sangat memukau Majelis Wali Amanah (MWA)
UI dapat dijadikan jaminan bahwa ia pasti berhasil memimpim UI,
sehingga para pemimpin PT kita harus atau patut berguru kepadanya?

Kita yakin, mayoritas (25 dari 30 orang) anggota MWA UI memilihnya
jadi Rektor UI untuk periode 2007-2012, pastilah bukan karena
kepiawaiannya “berjualan kecap Nomor 1? seperti yang biasa dilakukan
para pemimpin partai politik pada masa kampanye pemilihan umum.
Niscayalah, para anggota MWA UI jauh lebih percaya kepada apa yang
telah diperbuatnya secara konkret selama memimpin FISIP UI ketimbang
janji-janjinya sewaktu “kampanye” calon rektor.

Unang jadi Dekan FISIP UI periode 2002-2006. Karena dianggap sukses,
lalu dipilih lagi untuk masa bakti 2006-2010. Akan tetapi, baru lebih
setahun memegang jabatan tersebut (periode kedua) ayah tiga anak itu
sudah “naik kelas”, menjadi rektor. Sungguh hebat. Apa sih yang telah
diperbuatnya selama lima tahun memimpin FISIP UI?

Yang pertama dan terutama pastilah perbaikan pendapatan atau
kesejahteraan para dosen. Selain tetap menerima gaji sebagai pegawai
negeri sipil (PNS), tiap dosen tetap FISIP UI menerima gaji (tambahan)
rata-rata Rp 9 (sembilan) juta per bulan (Pikiran Rakyat, 23-7-2007).

Sang dekan tidak memperkaya para pejabat saja. Kalau mau tahu caranya,
dari mana sumber uang tersebut, tanyakan saja langsung kepada yang
bersangkutan! Yang pasti, meskipun sosiolog, dia wiraswastawan ulung.
Ia pintar menjual potensi yang dimiliki FISIP UI. Ia pintar menjual
jasa, termasuk jasa parkir kendaraan dan berbagai unit usaha lainnya.

Kalau satu fakultas saja pun ternyata sudah mampu menghasilkan banyak
uang, apalagi kalau semua fakultas, terlebih lagi bila berbagai
fakultas bersatu atau bersinergi. Satu hal penting yang dan perlu kita
catat, pendapatan utama fakultas yang dipimpinnya pastilah bukan
“berjualan kursi” kepada para mahasiswa baru dengan harga yang sangat
mahal. Ia juga tidak “mengobral” fakultasnya, misalnya, menerima
banyak sekali mahasiswa melalui jalur khusus atau nir-SPMB, sehingga
diraup uang dalam jumlah yang sangat besar.

Mungkin Unang berpikir, kalau cuma “berjualan kursi” sih siapa pun
bisa jadi dekan atau rektor. Doktor sosiologi (lulusan) Fakultas
Sosiologi Universitas Bielefeld Jerman itu tahu betul, kunci utama
dalam memajukan kualitas lulusan PT, serta mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), adalah para dosen tetap, dosen
profesional, bukan dosen luar biasa, apalagi dosen “biasa di luar”.

Kita jangan bermimpi mutu para sarjana tinggi, bila para dosen masih
tetap melarat. Jangan berharap para dosen sempat mengembangkan iptek
serta meningkatkan kualitas lulusan PT, bila mereka masih sangat sibuk
“mengobjek” ke sana ke mari sekadar memenuhi berbagai kebutuhan pokok
mereka sebagai dosen.

Siapa pun tahu, gaji dosen yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS)
pastilah jauh dari memadai. Tak usah dibandingkan dengan gaji mereka
yang mengaku “wakil rakyat” (baca: DPR). Tiap bulan anggota DPR
menerima kurang-lebih Rp 50 juta. Tak perlu pula kita membandingkannya
dengan gaji para “wakil rakyat” di daerah (DPRD) tingkat provinsi atau
kota/kabupaten yang jumlahnya kurang-lebih Rp 15 juta/bulan. Padahal,
sebagian anggota DPR/DPRD cuma lulusan sekolah lanjutan tingkat atas
(semoga tak ada yang berijazah palsu atau “asli tapi palsu”).

Berapa gaji dosen berjabatan guru besar, bergelar doktor, berstatus
PNS, dan sudah bekerja 25 tahun di perguruan tinggi negeri (PTN)?
Jumlahnya Rp 3 (tiga) juta saja per bulan. Sungguh tak manusiawi dan
rasional. Tentu tak ada orang yang tega berkata dengan sinis, siapa
suruh jadi dosen? Siapa suruh jadi PNS?

Ambisi besar

Dalam soal peringkat PT di tingkat internasional, Unang rupanya
memiliki obsesi dan ambisi besar. Paling lambat tahun 2012 UI sudah
masuk lima besar di tingkat Asia Tenggara, sepuluh besar di tingkat
Asia, dan seratus besar di tingkat dunia atau sejagat. Beberapa di
antara 3.000 dosen UI diharapkan pula mampu berhasil meraih hadiah
Nobel di bidang fisika, ekonomi, sastra, dan lain-lain (Republika,
29/7).

Obsesi besar rektor ini hanya mungkin terwujud bila semua dosen UI
sudah hidup sejahtera, sehingga mereka dapat bekerja dengan
benar-benar profesional. Mereka tak perlu lagi sibuk terus mencari
objekan kelas kakap di departemen-departem en, perusahaan-perusaha an
besar dan kaya.

Ketika memimpin FISIP UI, Unang juga merangsang para dosen untuk
menulis dan menerbitkan buku teks (ajar). Insentif atau perangsangnya
cukup besar, kurang-lebih Rp 10 juta per judul buku. Para dosen yang
menulis artikel opini di media cetak dan jurnal-jurnal ilmiah juga
diberi honorarium.

Keberhasilannya menghijaukan kampus FISIP UI, kini dilanjutkannya di
semua fakultas di lingkungan UI yang berdomisili di Depok. Program
awalnya sebagai Rektor dalam 100 hari pertama (Agustus-November 2007)
adalah penghijauan kampus dan program naik sepeda. Semua dosen dan
mahasiswa wajib naik sepeda dari tempat parkir kendaraan/terminal
kendaraan umum ke gedung kuliah masing-masing.

Kampus UI pun akan dijadikan tempat belajar biologi (tumbuh-tumbuhan)
yang terbuka untuk umum. Selain itu, kampus UI juga akan dijadikan
objek wisata lingkungan bagi umum (Kompas, 21/8). Obsesi besar lainnya
adalah mengembalikan UI menjadi kampus seluruh rakyat Indonesia. Sudah
terlalu lama UI (juga PTN-PTN besar lainnya di Pulau Jawa) didominasi
para lulusan SMA Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan
kota-kota besar lain (terutama di Pulau Jawa). Hampir semuanya mereka
berasal dari keluarga kelas sosial-ekonomi menengah dan atas.

Dahulu (1970-an dan sebelumnya) UI dan PTN-PTN unggulan lainnya di
Pulau Jawa merupakan tempat belajar bagi lulusan SMA dari hampir semua
Kabupaten/Kotamadya di Tanah Air, termasuk yang berasal dari keluarga
kelas sosial-ekonomi bawah (miskin) dari desa-desa atau daerah-daerah
pedalaman. Di bawah kepemimpinannya, UI akan kembali menjadi tempat
menimba ilmu bagi siapa pun, termasuk anak-anak muda dari daerah
pedalaman, asal memiliki potensi akademik yang memadai. Orang-orang
miskin boleh kuliah gratis dan memeroleh biaya hidup pula dari UI,
atau mereka boleh kuliah sambil bekerja (dengan upah yang layak) di
unit-unit usaha milik UI, atau mereka memperoleh kredit (mungkin tanpa
bunga) yang baru dicicil lima tahun setelah tamat.

Para siswa SMA yang pernah berhasil meraih medali di olimpiade ilmu
pengetahuan di tingkat internasional, seperti olimpiade matematika,
fisika, komputer, akan ditarik menjadi mahasiswa UI tanpa seleksi.
Mereka juga akan diberi beasiswa dalam jumlah yang memadai. Mereka
diharapkan ikut mendongkrak peringkat UI di tingkat Asia Tenggara,
Asia, dan sejagat. Intinya, para pemimpin PT di negeri ini dengan
rendah hati memang patut berguru kepada Rektor baru UI.

Kita berharap, tiap pemimpin PT di semua tingkatan harus berambisi
besar untuk memajukan PT/fakultas/ jurusan yang dipimpinnya. Pemimpin
PT haruslah berjiwa dan bersikap wiraswasta, jujur, bersih, disiplin
dalam segala hal, anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme),
mengutamakan/ mendahulukan kesejahteraan dosen (kemudian kesejahteraan
karyawan dan mahasiswa), berpihak kepada kaum miskin yang berpotensi
menimba ilmu di PT.

Selain itu, dia berambisi besar untuk menghasilkan lulusan yang
bermutu tinggi (jauh lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas
lulusan) serta mengembangkan iptek, memiliki kemampuan besar di bidang
kepemimpinan dan manajemen, mampu berkomunikasi dengan baik kepada
semua lapisan warga akademik dan para pemangku kepentingan PT di luar
kampus. Kita percaya benar, hanya pemimpin yang mau terus bergurulah
yang mampu membawa PT yang dipimpinnya ke jenjang terhormat.** *

Dari tulisan seorang dosen Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad.