Jakarta identik dengan Monumen Nasional (Tugu Monas). Bahkan dua puluh hingga tiga puluh tahun lalu, setiap pelajaran pengetahuan umum menyangkut Ibukota negara, selalu disebut bahwa tempat wisata sekaligus ikon Jakarta adalah Tugu Monas. Bagaimana keadaan Tugu Monas sekarang?

Tugu Monas merupakan monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Tempat yang terletak di pusat Kota Jakarta itu, dikepung oleh beberapa tempat penting di negara ini seperti Istana Presiden, Kantor Gubernur DKI Jakarta dan Stasiun Gambir.

Sore itu, ketika SP berjalan-jalan di kawasan Monas Rabu (2/4) sekitar pukul 15.00 WIB, Tugu Monas yang terletak di Lapangan Monas, Jakarta Pusat terlihat cukup ramai. Dari pintu masuk di silang barat daya tugu yang dibangun pada dekade 1960an itu terlihat sekitar 20 lebih bus pariwisata yang parkir di lapangan parkir tepat di sebelah kanan pintu masuk tersebut.

Bus pariwisata itu mengangkut murid-murid Sekolah Dasar (SD) yang mengadakan tur sekolah. Murid-murid itu berasal dari SD 01 Pagi Ancol dan SDI Al Falah 1 Jakarta. Juga ada yang berasal dari luar kota seperti SD Bina Insani Bogor.

Tidak jauh dari lapangan parkir, sebuah angkutan terlihat berhenti. Angkutan berupa mobil tanpa pintu berwarna jingga itu mengangkut pengunjung untuk berkeliling lapangan Monas, tanpa memungut bayaran. Tak berapa lama mobil itu bersandar di tepi trotoar, tampak serombongan anak-anak berseragam batik-hijau turun berlarian menuju lapangan parkir dan bergegas naik ke bus mereka.

Pemandangan seperti ini, menurut beberapa penjual dan tukang parkir yang selalu berada di tempat itu, hampir dapat ditemui setiap hari. Rombongan anak SD dari berbagai wilayah di Jakarta maupun luar kota mulai berdatangan sejak pagi. Bahkan tak jarang membuat lapangan parkir hampir tidak cukup menampung bus-bus yang mengangkut mereka.

“Tadi pagi lapangan parkir ini tidak muat. Sejak pukul 08.00 WIB, sudah banyak bus-bus pariwisata mengangkut anak SD berdatangan ke sini. Kami pedagang datang sesuai jam berapa mereka datang. Biasanya pagi hari,” ujar dua ibu yang berjualan minuman di lapangan parkir komplek Monas kepada SP.

Menurut pedagang minuman yang berjualan sampai jam sembilan malam itu, meskipun banyak rombongan pengunjung berdatangan, tidak mendatangkan keuntungan yang banyak bagi mereka. Dituturkan pedagang yang mengaku berasal dari Madura itu, keuntungan tidak terlalu banyak karena umumnya rombongan anak SD itu sudah mendapat makan dan minum dari guru mereka.

“Kami terkadang harus berjualan sampai jam dua dinihari. Kalau berjualan sampai jam segitu kadang-kadang bisa diperoleh sekitar Rp 100.000-Rp.200.000 dalam sehari. Itu juga kalau lagi untung. Kalau lagi rejeki, ya ada aja,” ujar seorang pedagang yang tak jarang terdengar berteriak menawarkan dagangan kepada anak SD yang berlarian menuju tempat parkir.

Ramai pengunjung di Monas, bahkan bukan hanya dari jam delapan pagi saja. Menurut tukang parkir bernama Ahmad, sejak Matahari terbit sudah banyak orang berdatangan ke areal tugu yang diarsiteki Soedarsono dan Friedrich Silaban itu.

SP/YC Kurniantoro

Seorang pemandu memberikan penjelasan kepada pengunjung di depan duplikat bendera pusaka, di Monumen Nasional, Jakarta. Rencananya, bendera pusaka yang asli akan dipindahkan dari Istana Merdeka ke Monumen Nasional dan disimpan di bawah duplikatnya.

Musim Hujan

Beberapa pedagang yang telah berjualan di komplek Monas selama 10 tahun mengatakan, kunjungan wisatawan seperti rombongan anak SD dan turis asing mulai sepi jika musim hujan datang. Hal tersebut menyebabkan pendapatan mereka semakin berkurang.

Selain pedagang minuman yang menggantungkan harapan melalui berjualan di sekitar Monas, ada juga tukang foto keliling yang terlihat sedang beristirahat di bawah pohon rindang di taman lapangan Monas. Tukang foto keliling yang memungut Rp 20.000 per lembar foto itu mengaku telah 10 tahun lebih menjajakan keterampilan mengambil gambar pengunjung dengan kameranya.

“Monas rame terus mbak kalau lagi nggak musim hujan. Banyak anak sekolah berkunjung. Kalau bule (wisatawan mancanegara, Red) tidak terlalu banyak, tapi ada juga yang ke sini. Apalagi akhir pekan seperti hari Sabtu dan Minggu, Monas tambah ramai. Belum lagi kalau musim libur tiba,” ujar seorang tukang foto keliling kepada SP.

Selain untuk wisata, Monas yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada 17 Agustus 1961 itu bagi beberapa pengunjung menjadi tempat yang pas untuk melepas penat, setelah seharian berkutat dengan kesibukan seperti berkuliah maupun bekerja.

Apalagi kunjungan ke pelataran puncak tugu setinggi 137 meter itu sungguh seru. Pengalaman yang lumayan menyenangkan di pelataran puncak tugu serasa berada di puncak sebuah gunung. Pandangan mata dapat tertuju ke segala arah di Jakarta. Benda-benda yang terlihat jauh di bawah pun tampak sangat kecil. Belum lagi angin kencang yang berhembus. Sebaiknya pengunjung memakai jaket agar terhindar dari dingin hembusan angin.”Monas bagi saya merupakan tempat untuk rileks, melepas penat. Apalagi kalau berada di pelataran puncak Monas kemudian melihat ke segala penjuru arah. Ditambah jika datang pada saat sedang sepi pengunjung, sensasi berada di situ membuat seolah-olah segala masalah yang ada hilang untuk sesaat terhapus keindahan yang terlihat dari atas pelataran ini,” ujar Eugene Daniel salah satu pengunjung yang datang bersama temannya, kepada SP.

Pelataran puncak Monas memiliki luas 11×11 meter dan dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Untuk dapat ke situ, pengunjung harus merogoh kocek sejumlah Rp 7.750 per orang (dewasa) dan Rp 3.350 (mahasiswa/pelajar/anak-anak) per orang untuk tiket.

Jika pengunjung ingin melihat lebih jelas lagi pemandangan yang tampak di kejauhan, busa menggunakan teropong yang tersedia. Namun, sebelum menggunakan alat untuk melihat benda di kejauhan itu, pengunjung harus membeli koin senilai Rp 2.000 per koin.

Sore itu meskipun termasuk hari kerja, terlihat banyak pengunjung yang hampir memadati pelataran puncak yang dapat dicapai setelah naik lift dengan kapasitas 800 kg atau kurang lebih 11 orang selama kurang lebih lima menit.

Kebanyakan pengunjung terdiri dari keluarga, bapak, ibu, dan anak-anaknya. Selain itu ada juga beberapa pasangan yang menjadikan pelataran puncak tersebut sebagai tempat memadu kasih. Terlihat juga beberapa turis asing sibuk memotret pemandangan yang terlihat dari pelataran puncak.

Dari pelataran puncak, 17 meter ke atas terdapat lidah api. Lidah api tersebut terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 meter, terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Pelataran puncak tugu bernama Api Nan Tak Kunjung Padam yang berarti melambangkan bangsa Indonesia dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Pelataran puncak Monas dapat didatangi pengunjung mulai pukul 09.00-17.00 WIB. Berada di tempat tersebut sangat pas jika pengunjung ingin sekalian menyaksikan matahari yang perlahan mulai tenggelam. Warna jingga kekuningan yang tak jarang bersembunyi di balik awan seakan memenuhi langit yang cukup cerah sore itu. Suatu keindahan yang tidak selalu dapat dinikmati di kota besar yang dipenuhi gedung pencakar langit.

Tugu Monas yang dibangun di areal seluas 80 hektare itu menurut beberapa pengunjung sudah cukup rapi. Namun agak kurang sedap dipandang mata, karena di beberapa bagian masih terdapat sudut-sudut bangunan yang kurang terjaga kebersihannya.

Selain itu menurut beberapa pengunjung, pertunjukan air mancur berpadu sinar laser yang diadakan setiap hari Sabtu malam pun masih kurang atraktif dan durasi pertunjukan yang ditampilkan kurang lama. Monas juga masih kurang menggelar acara. Padahal, tempat ini masih sebagai ikon Kota Jakarta. [Amelia M Tagaroi]