Tersebutlah sebuah nama, Usman Chaniago, supir camat di Payakumbuh.

Suatu hari dia minta berhenti bekerja pada Pak Camat. Alasan dia karena akan mencoba mengadu nasib merantau ke Jakarta.

Di Jakarta mula-mula dia bekerja sebagai tukang kantau di Tanah Abang. Dia terbilang amat rajin dan ulet dalam bekerja.

Setelah terkumpulkan sedikit demi sedikit modal, dia mencoba untuk usaha sendiri. Dia mulai menggelar dagangan di pinggiran jalan Tanah Abang.

Nasib rupanya memihak kepadanya, beberapa tahun kemudian… Dia berhasil memiliki kios kain di dalam pasar. Merasa sudah semakin berhasil dia pun ingin berkeluarga. Hampir 3 tahun sudah dia menikah dan
memiliki 2 anak. Tahun ini dia membangun rumah di Depok, di lingkungan perumahan dosen UI.

Di Komplek tersebut dia cukup terpandang karena rumahnya yang lebih besar serta banyak orang komplek menaruh perhatian pada dirinya, namun…

Ada hal yang membuatnya agak canggung, karena tetangganya semua akademisi, macam-macam gelarnya, ada Prof., ada PhD. dll. Usman merasa malu kalau papan namanya tidak tercantum gelar seperti tetangganya.

Oleh sebab itu maka dibuatlah Papan naman dari perak, dipesan dari Kotogadang, dengan nama DR. Usman Chaniago M.Sc.

Suatu ketika ayahnya datang berkunjung ke rumahnya. Alangkah bangga dia begitu melihat nama anaknya di papan nama depan rumah, kemudian dia bertanya dengan nada gembira dan bangga, (karena setahu dia, Usman hanya tamatan SMP dan setelah itu bekerja jadi sopir dan hanya berdagang).

Kata ayah Usman, “Wah… wah… Aba betul-betul bangga ini Usman, sampai terkejut di mana anak ambo kuliah, nie?”

Dengan malu-malu Usman menerangkan gelarnya di papan nama, “Ahh, Aba…!!! DR. Usman Chaniago MSc iko
maksudnyo… Disiko Rumahnyo Usman Chaniago Mantan Supir Camat”