Saudaraku yang di rahmati Allah
Alhamdulillah, Allah telah menyampaikan nafas kita untuk bertemu kembali dengan Ramadhan di tahun 1428 H ini. Semoga Allah juga akan memampukan kita untuk memaknai ibadah di bulan suci ini sehingga kita bisa mendapatkan predikat taqwa. Semoga pula Allah juga masih akan memberikan kita banyak kesempatan untuk bertemu Ramadhan di tahun tahun selanjutnya agar kita bisa menginstropeksi dan membenahi amalan ibadah kita, baik yang maghdhoh mapun yang ghoiru maghdoh, baik di dalam ramadhan itu sendiri maupun di lauar bulan Ramadhan.
Saudaraku yang dicintai Allah
Alqur’an menyebutkan tujuan orang berpuasa dalam salah satua ayatnya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS.2:183). Bagi sebagaian muslim awam ayat ini hanyalah menjadi legalisasi pelaksanaan puasa. Tetapi bagi kita sesungguhnya ayat tersebut memiliki nilai tarbawi yang luar biasa.

Diantaranya:
1. Allah SWT mengkhususkan perintah puasa ini hanya kepada orang yang disayanginya. Perintah puasa ini tidak ditujukan kepada semua manusia, apalagi manusia yang tidak bergama islam, sebagaimana pendapat ngawur Abd Rahim Ghazali (lihat kompas,Puasa untuk Semua, 12/09/07). Dalam ayat ini Allah menggunakan seruan yaa ayuhal ladzina amaanu bukan yaa ayuhan nas hal ini dikarena Allah mengisyaratkan puasa memiliki banyak hikmah yang bisa mengantarkan sesseorang yang beriman itu untuk dekat dan menjadi orang yang bertaqwa di sisis Allah SWT. Hanya orang yang beriman saja yang bisa memahami hikmah syari’at Allah Swt. Itulah sebabnya Allah SWT menyifat orang yang beriman sebagai ulul albab atau orang yang mengunakan akal fikirannya (QS 3: 190-1920) sementara Allah selalu mengatakan perbedaan orang beriman dan kafir serta munafik adalah orang kafir dan munafik itu punya sifat laa taklamun tidak bisa memikirkan alias menolak syariat Allah.

2. Allah menyebutkan tujuan puasa adalah untuk mencapai ketaqwaan. Di sini Allah menggunakan redaksi laalakum tattaquun (menjadi orang yang bertaqwa) bukan laalakum tukminuun (menjadi orang yang beriman). Takwa itu adalah produktifitas dari pada iman baik produktifitas amal ibadah kepada Allah mapun produktifitas amal ibadah kepada sesama bahkan alam atau lingkungan. Takwa itu terkait dengan amal shalih pribadi dan pendistrisibusian keshalihan kepada orang lain (shalih sosial). Inilah makna takwa yang dikatakan Allah dalam Surat al ashr: 1-3 : “…kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Oleh karena takwa itu adalah produktifitas, maka Allah menyuruh untuk memanage aktifitas ketaqwaan tersebut. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.59:18). Nah, gambaran takwa inilah gambaran roduktifitas amal umat yang terbaik. Dan siapakan mereka? Mereka itulah para nabi, sahabat, tabi’i dan tabi’it tabi’in. amalan mereka inilah yang bercahaya sepanjang zaman. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS.3:110)

3. Puasa memiliki dimensi kesahalihan pribadi dan keshalihan sosial. Puasa bukan hanya melatih diri tidak makan namun juga belajar empati meraskan nasib kaum dhuafa yang kelaparan oleh karena itulah di dalam puasa sendiri terdapat berbagai upaya untuk mewujudkan keshalihan sosial itu seperti infaq,shodaqoh, zakat fitrah dsb. Bahkan sebab Allah melaknati Bani Israil adalah karena buruknya hablum minnallah dan hablum minnnas mereka. Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.

Saudaraku yang dirahmati Allah.
Jelaslah bahwa puasa itu harus menghasilkan produktifitas. Oleh karena itu marilah kita jadikan puasa sebagai energi untuk menjadi lebih produktif. Bebrbagai iabdah maghdoh:tilawah, puasa, qiyamul lail, dsb yang kita lakukan di bulan Ramadhan harus bsa menjadi energi untuk memberi dan penduli kepada sesama.Janganlah karena alasan lapar dan haus seolah kita tidak punya tenaga untuk produktif untuk berubah dan melakukan perubahan.