Lola Amaria Lama tidak muncul di media membuat orang bertanya-tanya ke mana si cantik Lola Amaria, sutradara film “Betina” dan juga bintang di film “Ca Bau Kan” bersama Ferry Salim ini. Lola cukup dikenal akrab sebagai public figure yang baik.

“Saya tetap sibuk, tetapi bukan main dan menyutradarai film. Saya sedang asyik mengajar tentang seni peran. Minggu lalu saya baru saja menjalani operasi mata karena saya menderita kelainan higher order aberrations,” tutur Lola saat photo session untuk reklame sebuah produk.

Lola, kelahiran Jakarta 30 tahun lalu, pada awalnya tidak pernah mengira bahwa ia menderita higher order aberrations (HOA). Sebagai penderita, Lola mengungkapkan, HOA merupakan kelainan atau ketidaksempurnaan pada sistem refraksi mata, yaitu kornea yang dapat mengganggu kualitas penglihatan seseorang. Kelainan media refraksi jenis ini belum dapat dikoreksi sempurna dengan kacamata atau lensa kontak, seperti pada kondisi mata minus, plus, atau silinder.

“Menurut dokter, banyak orang yang memiliki kelainan refraksi namun prosentase HOA-nya tidak banyak, kebanyakan pasien menderita lower order aberrations. Sedangkan saya HOA-nya mencapai 70 persen sehingga harus diambil tindakan. Kalau tidak, penglihatan saya akan tetap terganggu akibat terpapar cahaya yang berlebihan,” ujar Lola.

Akibat HOA itu, pada 4 Desember 2007, Lola yang mengawali kariernya setelah ia berhasil menjuarai Wajah Femina, menjalani operasi Lasik (Laser-In-Situ Keratomileusis) di Klinik Mata Nusantara. Dokter yang menanganinya adalah dr Hadi Prakoso, SpM. Hadi mengatakan, operasi Lasik yang dijalani Lola berbeda sifatnya dengan operasi Lasik mata minus pada umumnya.

Mata Minus

“Pada kasus Lola, kami menggunakan sistem WaveScan WaveFront-guided laser surgery dengan teknologi Advance Custom Vie, di mana teknologi ini bukan hanya untuk mengatasi “mata minus”, karena Lola sama sekali bukan penderita rabun jauh atau “mata minus”. Dilakukan Lasik atau ablasi pada permukaan kornea agar kelainan HOA yang diderita Lola dapat dikurangi sehingga bisa mencapai batas normal,” kata Hadi.

Salah satu tim dokter yang menangani Lasik Lola, dr Upik Mahna Dewi SpM menambahkan, pada mata normal, kornea bisa menerima bentuk cahaya apa pun (lampu, matahari, dan cahaya lainnya). Cahaya yang melalui kornea akan diteruskan dan difokuskan ke retina. Saat melalui permukaan kornea yang tidak rata, terjadi hamburan cahaya yang dapat menyebabkan silau.

Upik menjelaskan, semakin banyak cahaya yang tidak terfokus pada titik fokus yang sama seperti pada penderita HOA yang tinggi, maka semakin silau si penderita. HOA juga bisa disebabkan karena keadaan lensa mata yang kurang sempurna, seperti pada kasus katarak. Karena itu, penderita katarak umumnya juga mengeluh silau di tempat yang terang.

Sebenarnya, aberrations ada dua jenis. Pertama adalah lower order aberrarations (LOA), seperti miopia (minus), hiperopia, dan astigmatisma. Kasus-kasus LOA ini bisa dikoreksi dengan kaca mata, lensa kontak, bahkan dengan bedah refraksi. Namun, untuk kasus HOA, seperti yang diderita Lola Amaria, sama sekali tidak bisa dikoreksi dengan kaca mata.

HOA, katanya, hanya bisa diatasi dengan operasi Lasik khusus yang kini sudah bisa dilakukan di Klinik Mata Nusantara. Setelah dilakukan operasi dengan laser, ungkapnya, kondisi mata bisa kembali normal. Kornea sudah bisa memfokuskan cahaya dengan lebih baik.

“Apa yang disampaikan dr Hadi memang benar. Saya pakai kaca mata karena saya pikir mata saya minus, tapi makin lama kok makin parah, sampai-sampai saya bisa kehilangan penglihatan ketika terpapar cahaya. Terutama saat malam hari ketika saya mengemudi mobil,” ujar Lola yang setelah sehari kemudian menjalani operasi dan ia tidak merasakan lagi gangguan yang berarti.

Kini, ia merasa lebih bebas lagi melakukan aktifitasnya, antara lain mengajar seni perannya di beberapa tempat, seperti Aceh dan beberapa kota lainnya, sekarang bebas gangguan. Ia bebas mengajar di luar ruang tanpa takut terpapar cahaya berlebihan. Mata adalah jendela hati, jadi kita wajib memeliharanya semaksimal mungkin. Kalau ada gangguan sekecil apa pun harus segera dicari solusinya. Begitu kata Lola Amaria.

25 Persen Penduduk

Jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25 persen dari populasi penduduk, atau sekitar 55 juta. Sekitar 35 persen dari jumlah itu merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan layanan Lasik.

Target yang amat potensial ini sekarang menjadi incaran strategis dan kompetisi yang sengit dari sentra-sentra Lasik di mancanegara, tetapi belum mendapat perhatian serius dari sentra-sentra spesialistik mata di Indonesia.

Setiap bulan, sekitar 2.000 orang Indonesia menjalani Lasik di luar negeri. Sementara di sentra-sentra kesehatan mata yang memiliki peralatan Lasik di Indonesia hanya melayani sekitar 500 orang. Ini sebuah tantangan yang harus dijawab oleh masyarakat oftalmologi Indonesia.

Semua peralatan Lasik yang ada saat ini menawarkan kemampuan customized ablation. Kalau kita baca kamus Oxford Dictionary, maka yang dimaksud dengan “customization” adalah membangun, mencocokkan, atau melakukan modifikasi sesuai dengan spesifikasi atau kebutuhan individual. [SP/Eko Budi Harsono]