Daun sirih (Piper betle L) bukanlah sekadar daun biasa. Daun ini begitu lekat dengan tradisi Nusantara yang berkembang sejak ratusan tahun lalu. Dalam tradisi Melayu, sirih menjadi simbol penghormatan. Hal ini terlihat pada aneka upacara penyambutan tamu ataupun upacara pernikahan.

Jejak informasi ini dapat dilacak melalui pantun, upacara dan ornamen adat, serta literatur tertulis. Pemantun Melayu Datuk Ahmad Fauzi sering menggunakan kata sirih untuk menyampaikan pesan pihak lelaki ataupun perempuan.


Salah satu pantunnya:

Sirih puan bercambul lima//indah berukir kepala naga//Sirih tuan sudah kami terima//sudah disantap sanak keluarga. Pantun pendek ini biasa disampaikannya mewakili pihak perempuan ke pihak lelaki sebelum acara akad nikah saat menerima hantaran tepak sirih.
Pada upacara pernikahan Melayu, pihak lelaki mesti memberikan tepak sirih ke pihak perempuan. Dalam tepak sirih hantaran tersebut biasanya terselip pantun untuk kedua mempelai. Satu paket tepak sirih berisi daun sirih, buah pinang, getah gambir, bubuk kapur, dan rajangan daun tembakau.
Sebagian orang kadang menambahkan dengan pucuk bunga cengkeh. Semakin banyak tepak sirih yang diberikan ke pihak perempuan, menandakan besarnya keluarga pihak lelaki. Sirih juga menjadi simbol penghormatan tuan rumah kepada tamu yang datang.
Tradisi ini masuk ke acara resmi pemerintah manakala sebuah acara resmi dihadiri oleh pejabat yang dihormati warga. BertahanKepala Adat Kesultanan Negeri Serdang, Sumatera Utara, Tengku Luckman Sinar mengatakan, penggunaan sirih pada acara adat masih bertahan hingga kini.
Para penjual daun sirih juga masih banyak terdapat di pasar-pasar tradisional di Medan. Penggunaan sirih bukan saja pada acara adat, melainkan juga dipakai untuk penyambung komunikasi antarwarga sehari-hari. Saking terhormatnya, orang Melayu menyediakan tempat khusus yang disebut tepak sirih atau sebagian orang menyebut cerana.
Tepak sirih biasanya berbentuk empat segi seperti peti kecil yang terbuat dari logam kuningan atau perak. Di dalam tepak sirih, terdapat kotak-kotak kecil sebagai tempat sirih, kapur, getah gambir, maupun tembakau. Tidak saja dalam adat Melayu, sirih juga menduduki tempat yang terhormat dalam tradisi Batak Toba, Karo, Simalungun, dan Nias. Sebagian menjadikannya sebagai makanan kecil di sela-sela perbincangan dengan kerabat.
Luckman menuturkan, memakan sirih juga menjadi bagian tradisi Nusantara. Selain keperluan adat, banyak warga yang memakai daun sirih untuk kepentingan kesehatan. Rimba Tumiur beru Sinaga (50), perempuan Batak Toba, mengaku sebagai pemakan daun sirih selama 30 tahun terakhir. Dia meyakini meminum air rebusan sirih yang dicampur buah pinang dan kapur bisa mencegah keputihan. Rimba juga suka memakan ramuan daun sirih untuk menguatkan giginya.
Ditemui di Pasar Peringgan, Medan, akhir Desember lalu, dia sedang mengunyah ramuan daun sirih sambil melayani pembeli. Dia juga menjual aneka ramuan daun sirih setiap paket Rp 10.000 yang berisi seikat daun sirih, getah gambir, dan sebungkus plastik kecil kapur bubuk. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Katolik Santo Thomas, Medan, Posman Sibuea mengatakan, daun sirih merupakan sumber antioksidan.
Daun sirih mengandung minyak atsiri oleoresin yang diekstrak dengan destilasi uap. Minyak ini bermanfaat sebagai senyawa pembangkit rasa (flavouring agent) selain sebagai antiseptik. Ekstrak daun sirih juga berfungsi sebagai antioksidan (flavonoid) yang aktif mengikat oksigen.
Pengikatan oksigen pada produk pangan, katanya, dapat meningkatkan stabilitas oksidatif produk pangan. Jadi, ekstrak daun sirih memiliki dua peran, yaitu sebagai antioksidan yang menangkap radikal bebas (scavenging of free radical) dan pengikat oksigen (singlet oxygen quenching). Kedua peran antioksidasi yang dimiliki daun sirih ini menempatkannya sebagai pangan fungsional yang memberikan efek menyehatkan bagi tubuh.
Asal-usul Banyak orang penasaran dari mana asal-usul sirih mulai dikonsumsi manusia. Pendiri Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Mahyudin Al Mudra, meyakini tradisi makan sirih berkembang di masyarakat sekitar 3.000 tahun lalu, tepatnya di zaman neolitik. Hal ini dibuktikan dengan temuan arkeologis berupa gigi fosil manusia yang sangat kuat.
Hasil penelitian arkeologis menyebutkan adanya zat-zat kimia yang membuat gigi manusia menjadi sangat kuat. Kekuatan itu berasal dari zat di dalam campuran sirih seperti kapur (yang berasal dari cangkang kerang yang ditumbuk). Mahyudin menyebutkan, saat ini ada dua dugaan asal-usul tradisi makan sirih itu.
Dugaan pertama, tradisi makan sirih berasal dari India. Hal ini dibuktikan dengan catatan pelaut Marcopolo yang melakukan perjalanan pada abad ke-13 bahwa orang India suka memakan segumpal tembakau.
Dugaan yang kedua, tradisi makan sirih berasal dari Nusantara (Indonesia sekarang). Hal ini pernah diungkapkan oleh pengelana Ibnu Batutah dan belakangan Vasco da Gama yang menyebutkan, ada kebiasaan dari orang-orang di Timur (Indonesia) memakan sirih. Mahyudin lebih meyakini tradisi makan sirih berasal dari India.
Pada masa lampau, di India sirih digunakan bukan untuk dimakan, tetapi untuk persembahan dewa di kuil-kuil. Bersama dengan sirih, persembahan lainnnya berupa kelapa yang dibelah dua dan pisang emas. Lambat laun, penggunaan sirih berkembang seperti sekarang setelah adanya proses akulturasi budaya.
Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari lebih percaya bahwa kebiasaan memakan sirih berasal dari Asia Tenggara sekitar abad ke-15. Sirih sejak lama menjadi makanan untuk beramah tamah sehari-hari.
Bukti-bukti tertulis ini disampaikan oleh juru tulis China, Ma Huan dan Anthony Reid, dalam catatan masing-masing. Orang-orang Asia Tenggara, tutur Ichwan, menyukai ramuan daun sirih karena menimbulkan dampak yang mengenakkan. Daun sirih selalu dicampur dengan buah pinang, getah gambir, dan kapur kerang yang dihancurkan. (ndy/mar)