Sarah Sechan salah satu artis yang telah menjalani iLasik

Kemajuan teknologi untuk mengoreksi gangguan penglihatan terus berkembang. Mulai dari kacamata, lensa kontak, hingga laser-assisted in situ keratomileusis (Lasik). Metode ini pun terus berkembang. Teknologi terbaru adalah menggunakan laser untuk membuka lapisan permukaan kornea (flap), dan pengamplasan kornea yang dikenal dengan metode iLasik.

Spesialis mata dari Klinik Mata Nusantara (KMN) dr Annette Mariza SpM menyebut, seseorang mengalami gangguan penglihatan jauh (minus atau myopia) dan silinder (astigmatisme), karena bentuk kornea tidak rata (bergelombang), sehingga sinar tidak fokus pada kornea. Bentuk yang tidak rata itu diatasi dengan mengamplas, agar sinar fokus pada kornea.

Diperkirakan 20% hingga 30% dari populasi mengalami myopia. Pada orang myopia, bentuk bola mata terlalu lonjong atau kornea terlalu melengkung sehingga bayangan benda yang masuk ke mata menjadi tidak fokus.

Bayangan benda jatuh di depan retina, daerah sensitif pada mata sehingga menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Sementara, pada orang silinder kelainan pada mata disebabkan lengkung kornea mata yang tidak merata.

Lasik mulai diterapkan untuk mengatasi myopia dan silinder sejak tahun 1990. Ketika itu, menurut Direktur KMN dr Rudy Cahyadi Susilo, teknologinya menggunakan fotorefraktif keratoktomi (tanpa membuka kornea/flap).

Teknologi berkembang, hingga pada tahun 1995-1997 mulai diterapkan pembukaan lapisan kornea mata, namun belum menggunakan laser. Melainkan dengan pisau elektrik (mikro keratom). Setelah itu, berkembang teknologi dengan menggunakan laser untuk mem- buat flap.

Hanya saja, kata Rudy, teknologi ini memerlukan waktu lebih lama dibanding iLasik, lebih dari 60 detik, dan hasilnya (presisi) kurang baik. Pemakaian pisau elektrik juga bisa menimbulkan komplikasi akibat kornea berlubang.

Pada kondisi ini, flap bisa lepas sehingga perlu waktu sekitar enam bulan untuk memulihkan kondisi mata, setelah itu lasik dilakukan. Pada teknologi iLasik dengan pemakaian iFS advanced femtosecond laser, pembuatan flap memakan waktu 10 detik.

Tindakan lasik dengan alat yang telah mendapatkan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menelan biaya sekitar Rp 25 juta.

“Waktu yang lebih singkat membuat waktu untuk memvakum mata berkurang, sehingga bisa mengurangi inflamasi. Mata kering pun lebih singkat, dan penglihatan silau di malam hari pasca-iLasik lebih singkat,” katanya.

Mulai 2007

Lebih jauh Annette menuturkan, total pengerjaan iLasik , yang mulai diterapkan tahun 2007, menghabiskan waktu 20 menit, dengan bius topikal. Pasca-lasik, pasien diberi antibiotik dan tetes mata untuk menghilangkan rasa kering pada mata. Secara keseluruhan, ujarnya, lasik aman dan efektif. Meski demikian, tetap bisa terjadi efek samping, antara lain tajam penglihatan pasca-tindakan kurang atau berlebihan.

Ini dapat diperbaiki dengan pemberian laser tambahan setelah kondisi mata stabil. Di samping itu, mata silau pada malam hari yang umumnya terjadi pada pasien dengan pupil mata besar dan myopia yang tinggi. Gangguan ini akan hilang seiring dengan berjalannya waktu.

Dijelaskan, sebelum tindakan lasik dilakukan, pasien harus melalui serangkaian pemeriksaan seperti pemeriksaan produksi air mata, saraf mata (retina), tebal kornea, ketajaman penglihatan (visus), topografi kornea, dan weave scan untuk membuat kornea lebih rata, dan pemeriksaan tekanan bola mata.

Ia menambahkan, orang yang bisa mendapatkan tindakan lasik adalah berusia di atas 18 tahun, derajat minus/silinder tidak berubah lebih dari 0,5 dalam enam bulan terakhir, tidak sedang hamil, kornea mata sehat.

“Untuk penderita diabetes mellitus, sebelum di-lasik kadar gula darah harus dikontrol dengan baik. Namun, lasik tidak disarankan untuk penderita otoimun seperti penderita lupus dan rematoid atritis,” ujarnya. [Suara Pembaruan/Nancy Nainggolan]