Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah. Kepiting itu ukurannya kecil, namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu ditangkap pada malam hari, lalu dimasukkan ke dalam baskom, tanpa diikat. Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus, lalu disantap untuk lauk selama beberapa hari.
Yang menarik, tentu saja kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom, sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat. Namun, seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil buruannya selalu berusaha meloloskan diri.
Jurusnya hanya satu, si penangkap tahu betul sifat para kepiting itu.
Jika ada seekor kepiting yang nyaris meloloskan diri keluar dari baskom, teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar.
Bila ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi temannya akan menariknya turun. Begitu seterusnya, sampai akhirnya tak seekor kepiting pun yang berhasil kabur dari baskom.
Keesokan harinya, sang penangkap tinggal merebus mereka semua dan matilah sekawanan kepiting yang dengki itu.
Begitu pula dalam kehidupan ini, tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu.
Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita meraih keberhasilan, kita malahan berprasangka buruk: jangan-jangan keberhasilan itu diraihnya dengan jalan yang tidak benar.
Apalagi dalam bisnis atau bidang lain yang mengandung unsur kompetisi.
Sifat iri, tak mau kalah, atau munafik, akan semakin nyata dan kalau tidak segera kita sadari, tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.
Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya.
Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bahkan bisa juga kalah dalam suatu persaingan, namun yang pasti: kita menang dalam kehidupan ini.
Gelagat seseorang adalah “kepiting” antara lain:
1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi) dan menjadikannya sebagai acuan dalam bertindak.
2. Hobi membicarakan kelemahan orang lain, tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk merintangi orang lain yang akan sukses dan melupakan usaha mensukseskan dirinya dengan cara yang positif.
Seharusnya kepiting-kepiting itu tolong-menolong keluar dari baskom, namun yaah… dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya..
Coba renungkan, berapa waktu yang kita pakai untuk memikirkan cara-cara menjadi “pemenang” dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama.
Seandainya kita bisa menggunakan waktu tersebut untuk memikirkan cara- cara pengembangan diri yang positif, niscaya kita akan berkembang menjadi pribadi yang lebih sehat dan dewasa.
KOMENTAR