ADA satu penyakit yang kerap menghinggapi seseorang ketika menjadi paduka yang berkuasa. Telinganya tiba-tiba menjadi tuli terhadap suara rakyat, tapi selalu terang benderang terhadap bisikan suara orang-orang terdekat.
Aneh memang. Semakin keras rakyat berteriak, semakin ketat telinga paduka tersumbat. Sebaliknya, bisikan orang terdekat yang teramat pelan justru terdengar bagai teriakan lantang. Maka, jangan harap suara rakyat terperhatikan dan suara para pembisik terdekat pun jadi kebijakan.

Karena itulah Nasaruddin Hoja terpaksa melakukan aksi unjuk rasa di hadapan Paduka Raja Yang Mulia. Demo yang dilakukan sufi kenamaan ini tentu saja khas pula. Yakni seorang diri saja, tidak beramai-ramai sampai ribuan orang seperti yang kerap dilakukan para demonstran di zaman kita sekarang. Juga tak berteriak-teriak sampai telinga pekak, melainkan lewat sebuah perbuatan yang mampu membuka tabir kegelapan.

Sebagaimana dikisahkan kembali oleh MB Rahimsyah AR dalam bukunya Humor Sufi (Kumpulan Kisah Teladan), suatu hari Nasruddin punya kabar baik yang mesti sesegera mungkin disampaikan kepada Sang Raja.

Tapi, ketika akan menghadap raja di istana, langkahnya dihentikan para pengawal di pos depan. Biasa, para pengawal ini minta bayaran. Kalau tidak dikabulkan, jangan harap bisa bertemu sang penguasa kerajaan.

Masalahnya, si zuhud Nasruddin tak punya apa-apa yang layak diberikan sebagai barang sogokan. Tapi lelaki cendekia ini tak putus asa. Ia lalu berjanji akan membagi dua hadiah yang bakal diterimanya dari raja. Mendengar janji penuh bunga, siapa pula yang tak tergoda? Bukankah rata-rata orang suka dengan janji-janji menyenangkan, meski pada akhirnya menyesal bukan kepalang sebab janji justru lebih sering diingkari orang?

Begitulah, Nasruddin akhirnya dipersilakan menghadap Yang Dipertuan. Kepada Sang Raja, ia memang benar-benar menyampaikan kabar gembira. Karena itulah ia dipersilakan meminta hadiah apa saja.

Tapi Nasruddin yang memang menjauhi kesenangan dunia justru meminta hadiah berupa cambukan 50 kali banyaknya. Raja tentu saja keheranan, tapi pada akhirnya permintaan itu pun dikabulkannya juga.

Maka, mulailah algojo kerajaan mencambuki punggung Nasruddin sesuai dengan permintaan yang bersangkutan. Tapi, ketika sampai hitungan ke 25, Nasruddin minta dihentikan. Ia minta agar pengawal di pos penjagaan terdepan segera dihadirkan.

“Aku sudah berjanji kepadanya untuk membagi sama rata hadiah yang kuperoleh dari raja. Karena ini janji, maka haruslah ditepati. Jadi, cambukan yang 25 kali sisanya adalah bagian untuk si pengawal istana,” ujarnya. Maka pengawal pun didera cambuk pula sebanyak 25 kali banyaknya.

Raja tentu saja keheranan, dan ia pun bertanya, “Nasruddin, kenapa kau korbankan dirimu dengan 25 kali cambukan hanya sekadar untuk memberitahukan kepadaku bahwa ada pengawal istana yang tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya?”

“Jika saya laporkan begitu saja, hamba justru khawatir dianggap mengada-ada. Bukankah selama ini Paduka Yang Mulia lebih mempercayai bisikan para pejabat istana ketimbang keluhan rakyat jelata yang hidup menderita?” jawab Nasruddin sambil pergi dengan punggung penuh luka, tapi hatinya penuh bunga karena aksinya telah membukakan sumbat di telinga Sang Raja.***