Suatu hari, ‘Umar meminta izin menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia masuk ke dalam rumahnya dan mendapatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuhnya berada di atas tanah. Beliau hanya berbantalkan pelepah kurma yang keras. ‘Umar mengucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Tanpa kuasa menahan, ‘Umar menitikkan air mata.

‘Mengapa Engkau menangis, hai putra Khaththab ?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Bagaimana aku tidak menangis”, kata ‘Umar. “Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuhmu. Engkau ini Nabi Allah, kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Padahal di tempat sana, Khoesroes dan Caesar, penguasa Persia dan Byzantium duduk di atas kastil emas, berbantalkan sutra”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia berkata, “Mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga; kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk Hari Akhir kita. Perumpamaan hubungan kita dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya”.

Teladan Sang Khalifah
Dari Celah-Celah Kehidupan ‘Umar bin Khaththab