Badan Kesehatan Dunia (WHO) memiliki catatan yang menakutkan tentang kondisi kebutaan di dunia, khususnya di negara berkembang. Disebutkan, saat ini terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, 60 persen di antaranya berada di negara miskin atau berkembang.

Direktur Jenderal WHO Dr Groharlem Bruntland mengingatkan, kebutaan adalah problema kesehatan masyarakat dan masalah sosial ekonomi yang serius bagi tiap negara, terutama pada negara berkembang, di mana 9 dari 10 tunanetra hidup di sana.

Sebenarnya, 75 persen kebutaan di dunia dapat dicegah atau diobati, terutama yang disebabkan oleh katarak. Adanya perkembangan teknologi kesehatan yang makin canggih, katarak bisa diatasi. Indonesia, dalam catatan WHO berada di urutan ketiga di dunia dengan angka kebutaan sebesar 1,47 persen.

Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) ikut peduli dengan masalah yang dihadapi pemerintah untuk menurunkan angka kebutaan yang diakibatkan katarak. Berkaitan dengan peringatan ulang tahun ke-21 berdirinya RSPI, Desember lalu, RSPI diadakan kegiatan bakti sosial operasi kata- rak gratis bagi penderita yang tidak mampu.

Spesialis mata RSPI, Dr Ratna Sitompul SpM, mengatakan, kegiatan bakti sosial ini sekaligus menandai “soft opening” Pondok Indah Clinic dan Cataract Center, melengkapi layanan yang ada di Pondok Indah Eye Clinic selain Lasik Center yang sudah berjalan sekitar lebih empat tahun.

Tidak Menyadari

Berkaitan dengan katarak, Ratna menjelaskan, merupakan kelainan mata yang terjadi karena perubahan lensa mata, yakni yang jernih dan tembus cahaya menjadi keruh. Kekeruhan menyebabkan sulitnya cahaya mencapai retina, sehingga penderita katarak mengalami gangguan penglihatan, yakni objek terlihat kabur.

“Mereka yang mengidap kelainan ini mungkin tidak menyadari telah mengalami gangguan katarak apabila kekeruhan tidak terletak di bagian tengah lensa matanya,” tutur Ratna.
Dia mengungkapkan, gangguan penglihatan yang dirasakan oleh penderita katarak tidak terjadi secara instan, melainkan terjadi berangsur-angsur, sehingga penglihatan penderita terganggu secara tetap atau mengalami kebutaan. Katarak tidak menular dari satu mata ke mata yang lain, namun dapat terjadi pada kedua mata secara bersamaan.

Secara umum, gejala gangguan katarak dapat diketahui berupa penglihatan yang tidak jelas, antara lain terdapat kabut yang menghalangi objek, mata peka terhadap cahaya, dapat melihat dobel pada satu mata, memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca, dan lensa mata berubah menjadi buram dan tidak bening, serta sering berganti kacamata tetapi tidak mendapatkan penglihatan yang jelas.

Umumnya, gangguan katarak dialami oleh mereka yang berusia di atas 60 tahun. Namun, pada kasus-kasus tertentu, katarak dapat pula terjadi pada bayi yang disebabkan infeksi virus yang dialami ibu pada saat usia kehamilan masih dini. Untuk mereka yang mengidap diabetes, katarak dapat mengganggu penglihatan relatif lebih cepat. Selain itu kasus katarak juga banyak terjadi di daerah yang panas dengan intensitas paparan sinar ultra violet matahari yang tinggi.

Berbagai faktor yang dideteksi sebagai penyebab katarak, di antaranya adalah faktor keturunan, cacat bawaan lahir, masalah kesehatan seperti diabetes, penggunaan obat tertentu (khususnya steroid), eksposur matahari terhadap mata dalam waktu yang cukup lama, operasi mata sebelumnya, dan trauma pada mata (misalnya terjadi karena kecelakaan).

Ratna mengingatkan, katarak bukan merupakan penyakit menular namun hingga saat ini belum ada obat-obatan, makanan, atau kegiatan olah raga yang dapat menghindari atau menyembuhkan gangguan katarak. Salah satu upaya yang efektif untuk memperlambat terjadinya gangguan katarak adalah dengan melindungi mata dari sinar matahari yang berlebihan.

Kebutaan karena gangguan katarak, katanya, bukan kebutaan permanen karena dapat disembuhkan dengan prosedur operasi. Walaupun demikian, prosedur ini tidak akan direkomendasikan oleh dokter spesialisasi mata apabila kasus katarak disertai dengan kelainan pada retina dan saraf penglihatan.

“Untuk itu harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh sebelum operasi dilakukan. Sedangkan gejala katarak yang tidak mengganggu keseharian penderita tidak memerlukan tindakan operasi,” ujarnya.

Tindakan operasi katarak dilakukan apabila penglihatan telah hilang sehingga mengganggu penderita dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Operasi katarak dijalankan cukup dengan bius lokal atau menggunakan tetes mata antinyeri pada kornea (selaput bening mata), bahkan tanpa menjalani rawat inap.

Berteknologi Tinggi

Lensa mata yang keruh dihancurkan (emulsifikasi) kemudian disedot (fakum) dan diganti dengan lensa buatan yang telah diukur kekuatan lensanya dan ditanam secara permanen. Menurut Ratna, prosedur operasi seperti ini menggunakan peralatan operasi berteknologi tinggi dengan teknik fakoemulsifikasi (tanpa jahitan). Teknik bedah katarak dengan sayatan kecil ini hanya memerlukan waktu 10 menit disertai waktu pemulihan yang lebih cepat.

Jika tidak terjadi gangguan pada kornea, retina, saraf mata, atau masalah mata lainnya, tingkat keberhasilan dari operasi katarak cukup tinggi (mencapai 95 persen), dan kasus komplikasi saat maupun pascaoperasi juga sangat jarang terjadi. Kapsul atau selaput di mana lensa intra okular terpasang pada mata orang yang pernah menjalani operasi katarak dapat menjadi keruh. Untuk itu perlu terapi YAG laser untuk membuka kapsul yang keruh agar penglihatan dapat kembali menjadi jelas.

Ratna menjamin, RSPI Eye Center telah dilengkapi dengan perangkat teknologi tinggi untuk bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi yang menggunakan mikroskop canggih untuk meningkatkan ketajaman operasi, dan alat untuk meningkatkan ketepatan ukuran lensa tanam yang digunakan. Selain itu RSPI Cataract Center juga telah dilengkapi dengan YAG laser, perangkat mutakhir untuk terapi gangguan katarak. [SYH/S-26]