MENGGEMARKAN SHALAT SUNNAH RAWATIB
Yang dimaksud dengan shalat sunnah Rawâtib, yaitu shalat-shalat yang dilakukan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam atau dianjurkan bersama shalat wajib, baik sebelum maupun sesudahnya.
Bagaimanakah kedudukan shalat sunnah Rawâtib ini, sehingga para ulama sangat memperhatikannya?
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya maka Rabb ‘Azza wa jalla berfirman: “Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu’ (shalat sunnah)?” Lalu shalat wajibnya yang kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian” [HR At-Tirmidzi] [3]
Dari hadits tersebut, menjadi jelaslah betapa shalat sunnah Rawâtib memiliki peran penting, yakni untuk menutupi kekurangsempurnaan yang melanda shalat wajib seseorang. Terlebih lagi harus diakui sangat sulit mendapatkan kesempurnaan tersebut, sehingga Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya sepersepuluh shalat, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya sepertiganya, setengahnya” [HR Abu Dawud dan Ahmad] [4]
KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan shalat sunah Rawâtib secara umum, ialah hadits Ummu Habîbah, yang berbunyi.
“Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas raka’at shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun untuknya sebuah rumah di surga” [5]
Jumlah raka’at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari hadits Ummu Habibah sendiri, yang berbunyi.
“Ummu Habibah berkata,”Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :’Barang siapa yang shalat dua belas raka’at maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at setelahnya, dua raka’at setalah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya`, dan dua raka’at sebelum shalat Subuh.”
Dalam riwayat lain dengan lafazh :
“Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka’at, maka Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga” [HR An-Nasâ-i] [6]
Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita mengerjakan shalat dua belas raka’at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam keutamaan tersebut. Dan ini dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu ‘Umar berikut ini.
ö
“Aku hafal dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh raka’at: dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya, dua raka’at setelah Maghrib, dua raka’at setelah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit fajar, beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka’at.” [7]
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh.
“Dan dua raka’at setelah Jum’at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan ‘Isya dilakukan di rumahnya” [8]
Dalam riwayat Muslim berbunyi.
“Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum’at, aku lakukan bersama Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya” [9]
JUMLAH RAKA’AT SUNNAH RAWÂTIB
Dalam masalah jumlah raka’at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat. Ini dikarenakan perbedaan dua hadits di atas.
Pertama, menyatakan jumlah raka’atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu tersebut, dan inilah pendapat para ulama madzhab Hambaliyah dan Syafi’iyyah.[10]
Kedua, menyatakan jumlah raka’atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits Ummu Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu Taimiyyah.[11]
Ketiga, menyatakan tidak ada batasan jumlah raka’at, bahkan cukup dengan melakukan dua raka’at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan shalat sunnah Rawatib, dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.
Keempat, menyatakan jumlah raka’atnya delapan belas. Demikian ini pendapat Imam asy-Syairazi dan disetujui Imam an-Nawawi dalam al-Majmû’ Syarhul-Muhadzdzab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu Habibah di atas, serta hadits Ummu Habibah lainnya yang berbunyi:
“Aku mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barang siapa yang menjaga empat raka’at sebelum Zhuhur dan empat raka’at setelahnya maka Allah mengharamkannya dari neraka.” [12]
Juga hadits yang berbunyi.
Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu , dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum ‘Ashar empat raka’at”.[13]
Menurut Imam Nawâwi, beliau rahimahullah mengatakan, yang paling sempurna dalam Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas raka’at, sebagaimana dijelaskan penulis (asy-Syairazi), dan paling sedikit adalah sepuluh, sebagaimana yang beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang berpendapat delapan raka’at dengan menghapus sunnah Isya’; (demikian) ini pendapat al-Khudari. Dan ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah dua raka’at lain sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.[14]
Yang rajih –Wallahu A’lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah Rawâtib sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan sebelum atau sesudah, dan ada anjuran dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga yang lengkap ialah delapan belas raka’at, sebagaimana disampaikan Imam an-Nawawi di atas.
Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?
Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih ialah pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin [15], yaitu duabelas raka’at dengan perincian dua raka’at sebelum Subuh, empat raka’at sebelum Zhuhur, dua raka’at setelah Zhuhur, dua raka’at setelah Maghrib, dan dua raka’at setelah ‘Isya`, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Habîbah, juga dikuatkan dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi:
“Sesungguhnya dahulu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur” [16]
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu yang menerangkan bahwa beliau radhiallahu’anhu hafal dari Nabi sepuluh raka’at. Mengenai hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: “Dahulu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjaga sepuluh raka’at pada waktu muqim. Inilah yang disampaikan Ibnu ‘Umar . . . , dan beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat empat raka’at sebelum Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam Shahîhain dari ‘Aisyah bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum Zhuhur. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya bila Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam shalat di rumah, maka beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat raka’at. Dan bila shalat di masjid, maka shalat dua raka’at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat begitu, kemudian ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar masing-masing menyampaikan apa yang dilihatnya”.[17]
Adapun Syaikh ‘Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi terhadap hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: “Pernyataan ’empat raka’at sebelum Zhuhur’, tidak bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang terdapat pernyataan ‘dua raka’at sebelum Zhuhur’. Letak komprominya, terkadang beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka’at dan terkadang empat. Kemudian masing-masing dari mereka berdua (Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah), masing-masing menceritakan salah satu dari kedua amalan tersebut. Fenomena semacam ini terjadi juga pada banyak ibadah dan dzikir-dzikir sunnah.”[18]
FAIDAH SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Sebagaimana telah diuraikan pada awal uraian ini, shalat sunnah Rawâtib ini didefinisikan dengan shalat yang terus dilakukan secara kontinyu mendampingi shalat fardhu. Demikian Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan definisinya, sehingga berkaitan dengan faidah shalat sunnah Rawatib ini, beliau memberikan penjelasan: “Faidah Rawatib ini, ialah menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu”.[19]
Sedangkan Syaikh ‘Abdullah al-Basâm mengatakan dalam Ta-udhihul-Ahkam (2/383-384) bahwa shalat sunnah Rawâtib memiliki manfaat yang agung dan keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus kejelekan, meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu. Sehingga Syaikh al-Basâm mengingatkan, menjadi keharusan bagi kita untuk memperhatikan dan menjaga kesinambungannya.
Wallahul-Muwaffiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Foote Note
[1]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun (1/372).
[2]. Syarhul-Mumti’ ‘ala Zâdil-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin, Tahqîq: Dr. Khâlid al-Musyaiqih dan Sulaimân Abu Khail, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H (3/93).
[3]. HR At-Tirmidzi no. 413 dan Ibnu Majah no. 1425. Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Al-Jami Ash-Shaghir no. 2020 [4]. HR Abu Daud no. 796 dan dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib no. 537 [5]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfir wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah Qablal-Farâ-idh wa Ba’daha, no. 1199.
[6]. HR An-Nasa’i no. 1804 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i. (Lihat no. 1804 no. 1804, 261 dan 1696) [7]. HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: ar-Rak’atain Qablal-Zhuhur (no. 1180), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 729).
[8] HR al-Bukhari, kitab Jum’at, Bab: Tathawwu’ Ba’dal-Maktubah (no. 1120), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
[9]. HR Muslim kitab Shalat al-Musafirîn wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
[10]. Syarhul-Mumti’ (3/93) dan Shahih Fiqhis-Sunnah (1/372).
[11]. Ibid.
[12]. HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat (no. 428), Ibnu Majah, kitab ash-Shalat (no. 428), Abu Dawud, kitab ash-Shalat, Bab: al-Arba’ Qablal-Zhuhri wa Ba’daha (no. 1269) dan Ibnu Majah, kitab ash-Shalat was-Sunnah fiha, Bab: Mâ Jâ-a fiman Shalla Qablal-Zhuhri `Arba’an wa Ba’daha `Arba’an (no. 1160). Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Ibni Majah (1/191).
[13]. HR Ahmad dalam Musnad-nya (4/203), at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Jâ-a fil-Arba’ Qablal-‘Ashr (no. 430), Abu Dawud dalam kitab ash-Shalat, Bab ash-Shalat Qablal-‘Ashr (no. 1271), dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud (1/237).
[14]. Al- Majmu’ Syarhul-Muhadzab, Imam an-Nawawi dengan penyempurnaan oleh muhammad Najîb al-Muthi’i, Dar Ihyâ-ut-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Tahun 1419H (3/502).
[15]. Syarhul-Mumti’ (4/96).
[16]. HR al-Bukhari dalam kitab al-Jum’at, Bab: ar-Rak’ata-in Qablal-Zhuhri (no. 1110).
[17]. Zâdul-Ma’âd, Ibnul-Qayyim, Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth, Mu-assasah ar-Risalah, Cetakan Kedua, Tahun 1418 H (1/298).
[18]. Ta-udhihul-Ahkâm min Bulughul-Maram, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur-Rahman al-Basâm, Maktabah al-Asadi, Mekkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423 H (2/382-383).
[19]. Syarhul-Mumti’ (4/96).
KOMENTAR