“Lebih baik mencegah daripada mengobati”. Slogan ini acap kali terngiang di telinga kita. Dengan slogan ini, orang tidak perlu merasakan sakit, baru mengambil tindakan, seperti berobat ke dokter yang mau tidak mau, orang yang sakit terpaksa mengeluarkan uang. Sungguh tidak menyenangkan. Sudah sakit masih harus mengeluarkan uang, terlebih jumlah uang yang dikeluarkan tidak sedikit.

Pemeriksaan gigi harus dilakukan secara berkala

Tetapi kenyataannya, justru pengobatan (kuratif) yang menonjol di tengah masyarakat. Upaya pencegahan (preventif) yang tidak perlu mengeluarkan dana besar dan tidak perlu merasakan sakit masih belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Perlu mengubah paradigma kuratif menjadi paradigma preventif.

Soal upaya mengubah paradigma kuratif ke preventif dibahas dari sisi kendala psikososial kultural oleh guru besar psikologi dari Universitas Indonesia, Profesor Sarlito W Sarwono, dalam seminar “Preventive Dentistry: Scientific and Cultural Perspective”, baru-baru ini, di Jakarta. Menurut dia, ada faktor eksternal yang berada di luar kendali seseorang atau masyarakat untuk melakukan pencegahan.

Misalnya penderita gangguan saluran pernapasan atau penderita gangguan pencernaan kronis bisa sembuh setelah dirawat di rumah sakit. Tetapi akan kambuh lagi begitu pulang ke rumah karena keluarga si penderita tidak mempunyai uang cukup untuk membangun lingkungan rumah (sirkulasi udara, sanitasi) yang sehat.

Tetapi yang lebih banyak berperan, ujar Sarlito, adalah faktor ketidakpedulian. Dia mencontohkan penyakit hipertensi, stroke, diabetes mellitus (DM) atau kecanduan narkoba. Berbagai penyakit ini bisa dihindarkan, atau minimal dikurangi sampai ke tingkat yang terendah, dengan melakukan hal-hal sederhana dan bebas biaya. Seperti menjaga makanan, olahraga, menjaga pergaulan. “Tetapi itu pun tidak banyak dilakukan sehingga banyak timbul korban, baik harta bahkan jiwa, yang tidak perlu,” katanya.

Hal yang sama terjadi pada kesehatan gigi. Orang lebih suka menunggu sampai gigi berlubang dan merasa sakit yang tidak tertahan sampai akhirnya harus ke dokter gigi daripada merawat giginya dengan teliti secara rutin setiap hari. Sakit gigi memang cukup membuat seseorang menderita. Tidak bisa makan, tidak bisa tidur dan praktis tidak bisa bekerja. Gigi berlubang juga bisa menimbulkan kerusakan pada organ lain seperti jantung dan ginjal. Sayangnya, perhatian terhadap kesehatan gigi masih kurang.

Kerusakan Gigi Bisa Dicegah

Ada lima tahap yang bisa dilakukan untuk mencegah kerusakan gigi atau kerusakan gigi yang lebih parah. Pertama, promosi kesehatan mencakup kesehatan gigi di rumah seperti menggosok gigi dan berkumur. Kedua, perlindungan spesifik agar gigi tidak mudah sakit, misalnya gigi diberi lapisan bahan yang mengandung flouride. Tindakan ini dilakukan dokter gigi. Ketiga, diagnosis dini dan terapi segera mungkin. Keempat, membatasi kecacatan. Kelima, rehabilitasi.

Tiga Langkah

Ahli kesehatan gigi dari Universitas Maryland Baltimore, Profesor Louis G DePaola DDS MD, mengatakan, ada tiga langkah untuk mencegah kerusakan gigi. Tiga langkah itu adalah menyikat gigi dua kali sehari, memakai benang gigi (flossing) untuk mengeluarkan makanan yang terselip di sela-sela gigi yang tidak bisa hilang dengan menyikat gigi. Flossing cukup dilakukan sekali dalam sehari, dan berkumur dengan antiseptik dua kali sehari. Sekalipun upaya pencegahan ini mudah dilakukan, kebanyakan orang tidak melakukannya.

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, diperkirakan sekitar 75 persen orang dewasa mengalami radang jaringan ikat penyangga akar gigi yang terjadi secara perlahan-lahan. Penyakit ini kebanyakan tidak terdiagnosis pada kebanyakan orang. Sedangkan upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menyikat gigi, flossing dan kemoterapetik. Hanya dengan perawatan gigi penyakit ini bisa dikendalikan. Bila tidak, penyakit ini bisa terkait dengan penyakit lain seperti serangan jantung, DM, penyakit yang terkait dengan paru-paru dan kelahiran yang prematur.

Louis menyebut radang jaringan ikat penyangga gigi dan karies (kerusakan tulang gigi akibat keaktifan mikroorganisma terhadap karbohidrat dan ditandai dengan dekalsifikasi unsur-unsur anorganik gigi dan kemudian kehancuran unsur-unsur organik) banyak ditemukan di Asia. Sebanyak 85 persen anak-anak dan 95 persen sampai 100 persen orang dewasa di India menderita radang jaringan ikat penyangga gigi. Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan gigi itu adalah kurangnya pemahaman tentang pencegahan kerusakan gigi, higiene mulut yang kurang baik, dan juga kurangnya pelayanan kesehatan gigi.

Di dunia, kerusakan gigi yang paling sering terjadi adalah karies. Kerusakan ini merupakan penyakit kronis yang umumnya terjadi pada anak-anak termasuk di AS. Louis mengingatkan bahwa kerusakan pada gigi atau sakit gigi berkaitan dengan berbagai penyakit, misalnya kardiovaskular, penyakit jantung, stroke, pernapasan (pneumonia dan abses paru-paru), dan bayi lahir dengan berat badan. Jadi, sakit gigi bukan hanya menyangkut kesehatan di seputar mulut saja. Lebih dari itu, dengan mencegah kerusakan gigi ada banyak penyakit yang bisa dicegah.

“Rata-rata orang menghabiskan 46 detik untuk sikat gigi. Hanya 2 persen sampai 10 persen pasien yang melakukan flossing secara teratur setiap hari. Kebanyakan tidak melakukan flossing dan umumnya orang dewasa mengalami gingivitis. Kebanyakan pasien tidak menjadikan flossing sebagai prioritas,” tandas Louis.

Menggosok gigi dan berkumur menjadi hal penting untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Karena, penyebab masalah kesehatan gigi (karies dan radang jaringan ikat penyangga gigi) itu adalah plak. Selain plak, kerusakan gigi disebabkan alkohol, merokok, dan ketidakseimbangan hormon. Tetapi yang umum adalah plak. Kalau plak didiamkan saja (tidak sikat gigi) maka semakin menumpuk dan semakin keras karena mengandung berbagai macam zat misalnya, kalsium, posfor, magnesium. Zat-zat ini berasal dari bakteri dan saling bereaksi sehingga mengeras dan menjadi karang gigi.

Dalam hal ini, peran dari obat kumur antiseptik adalah merusak dinding sel bakteri, mengurangi pembentukan plak. Berkumur seusai makan sangat dianjurkan, tetapi tidak harus selalu dengan obat kumur antiseptik. Pasalnya, bila sering memakai antiseptik, semua kuman akan mati. Justru yang tumbuh jamur. Selain itu, sebenarnya berkumur dengan antiseptik tanpa perlu mengeluarkan uang banyak sudah dilakukan masyarakat sejak dari dahulu, yakni dengan air dicampur daun sirih atau air dicampur garam.

Kembali ke pencegahan, yang menjadi masalah adalah bagaimana menanamkan kebiasaan mencegah pada masyarakat. Menurut Sarlito, tidak mudah membuat orang percaya pada ilmu dan teknologi. Orang Indonesia justru mudah percaya pada orang dengan atribut-atribut tertentu. Orang berjubah seperti kiai atau berseragam seperti petugas keamanan atau pejabat pemerintah cepat sekali didengar dan dituruti sekalipun mungkin saja yang diucapkannya salah. Khusus untuk tindakan pencegahan kerusakan gigi, katanya, para dokter gigi mempunyai peluang yang baik untuk menyampaikan pesan pencegahan kepada pasien saat berada di ruang praktik.

“Ketika dokter gigi meminta pasiennya membuka mulut, itulah waktu yang tepat bagi dokter gigi untuk menyampaikan perlunya mencegah kerusakan gigi. Berikan pujian dan hukuman berupa teguran kepada pasien. Cara ini cukup efektif, apalagi pasien yang sakit gigi biasanya tidak cukup sekali datang ke praktik dokter,” tambah Sarlito. (N-4)