Perkembangan radiologi yang mutakhir memungkinkan deteksi penyakit pasien secara jitu. ISTIMEWA

Oleh Pouw Tjoen

Radiologi atau ilmu penyinaran secara tradisional menggunakan radiasi zat radioaktif yang diletakkan di luar tubuh pasien. Dalam perkembangan mutakhirnya, zat radioaktif tidak lagi diletakkan di luar tubuh, tetapi disuntikkan ke dalam tubuh pasien.

Hukum umum dalam bercinta adalah: “dua insan yang berlawanan jenis condong saling tarik menarik, sedangkan yang sesama jenis condong saling menjauh”. Hukum yang sama juga berlaku dalam ilmu alam atau fisika. Elemen-elemen yang berlawanan muatan listriknya akan saling tarik menarik, sedangkan yang sama muatan listrikya akan saling menjauh.

Atom terdiri atas inti yang dikelilingi elemen- elemen bermuatan listrik negatif yang disebut elektron. Inti atom terutama terdiri atas dua jenis elemen. Elemen yang bermuatan listrik positif disebut proton.

Oleh karena sama muatan listriknya, proton- proton akan saling menjauh, sehingga dapat menghancurkan inti atau atom secara keseluruhan. Guna mencegahnya, dalam inti atom terdapat elemen kedua yang tidak bermuatan listrik dan disebut neutron.

Dalam alam, keserasian hanya tercapai bila ada keseimbangan. Hukum ini juga berlaku bagi kelestarian setiap atom. Proton-proton hanya dapat didekatkan bi-la jumlah neutron sekedar cukup.

Kekurangan atau kelebihan neutron membuat proton-proton saling menjauh. Atom-atom yang kelebihan atau kekurangan neutron in disebut atom-atom yang tidak stabil.

Inti atom selalu berusaha menstabilkan diri dengan cara mendepak kelebihan neutron atau mengundang neutron dari luar. Upaya mendepak atau mengundang neutron ini harus dibayar dengan mengeluarkan energi yang kita sebut radiasi radioaktif.

Oleh karenanya, atom-atom yang tidak stabil disebut atom-atom radiatif atau istilah ilmiahnya radioisotope. Jenis radioisotope akan menentukan daya tembus dan daya rusak dari energi yang dipancarkannya.

Di alam terdapat ratusan radioisotope yang selalu mengusir atau mengundang neutron agar menjadi atom yang stabil (tidak lagi memancarkan radioaktif). Bila anda terbang dari Jakarta ke Merauke, maka radiasi radioaktif yang anda terima dari alam terbuka kurang lebih sama dengan pasien yang di-rontgen.

Setiap radioisotope membutuhkan waktu tertentu untuk menstabilkan inti atom-atomnya. Ada yang hanya memerlukan waktu beberapa detik, tetapi ada pula yang membutuhkan waktu jutaan tahun. Para ilmuwan kemudian menentukan satuan untuk mengukur waktu tersebut. Dalam ilmu ‘fisika inti’, satuan ini disebut “separuh umur” atau “Half-Life” dan disingkat dengan: ‘t1/2’.

Radiologi Terapetik

Half-Life adalah waktu yang dibutuhkan suatu isotope untuk mengubah 50 persen dari atom-atomnya menjadi atom-atom yang tidak lagi memancarkan radioaktif (atom-atom stabil).

Era bio-molekuler yang dimotori biologi dan biokimia merupakan tonggak perkembangan dunia kedokteran masa kini.

Berkat kemajuan pesat dari kedua cabang ilmu kedokteran tersebut, para sarjana kedokteran dapat menentukan jenis-jenis zat apa saja yang dibutuhkan untuk metabolisme sel-sel kanker.

Pada umumnya zat-zat tersebut dalam sel-sel yang sehat kadarnya jauh lebih rendah. Dengan menempelkan radioisotope pada zat-zat metabolisme sel-sel kanker, maka kanker dapat dibidik secara lebih jitu.

Syarat-syarat dalam penerapan radiologi terapetik adalah: zat yang ditempeli radioisotope adalah zat metabolik yang terutama digunakan oleh sel-sel kanker dan Half-Life (t1/2) radioisotope yang ditempelkan sependek mungkin (paling lama beberapa jam).

Zat berlabelkan radioisotope tersebut disuntikkan ke dalam tubuh pasien melalui cairan infus. Prosedur ini sama sekali tidak menimbulkan rasa nyeri.

Karena itu, tidak dibutuhkan pembiusan dan rawat inap. Di samping itu, kadar zat radioaktif yang ditempelkan adalah sangat rendah sehingga radiasi yang diterima pasien kurang lebih sama dengan bila di-roentgen.

Radiologi Diagnostik

Dewasa ini sedang diupayakan untuk menempelkan isotope pada antibodi sel-sel kanker. Bila rekayasa medik ini berhasil, selain mematikan sel-sel kanker, risiko terusiknya kehidupan sel-sel sehat disekitar kanker dapat ditekan sekecil mungkin.

Pada dasarnya setiap organ membutuhkan zat-zat metabolik yang unik. Bila zat-zat tersebut ditempeli zat radioaktif, maka fungsi dari organ tersebut dapat dipantau.

Dalam tahun 1932, Carl D Anderson (pemenang Noble 1936 di bidang fisika) menemukan suatu elemen anti proton bermuatan listrik positif yang disebut positron. Bila positron bertumbukkan dengan proton maka terpancarlah sinar gamma.

Berbeda dengan radiasi isotope-isotope lainnya, sinar gamma hasil tumbukan positron dan proton dipancarkan ke segala arah. Program komputer kemudian mengolah data radiasi tersebut dan mengubahnya menjadi gambar tiga dimensi.

Teknik diagnostik ini disebut Positron Emission Tomography (PET) dan digunakan untuk melacak penyebaran sel-sel kanker serta pemantauan hasil pengobatan kanker.

Penulis adalah alumni Fakultas Kedokteran Unair, berdomisili di Austin, Texas, USA