Nokia dan Tempe

foto-foto: istimewa

Apa yang ada di benak Nokia Indonesia saat mengawali tahun 2008 dengan meluncurkan produk telepon seluler (ponsel) entry level, sementara vendor yang lain menutup tahun 2007 dan mengawali 2008 dengan serangkaian produk berteknologi terkini?

Jawabannya sebetulnya mudah ditebak. Setiap produsen ponsel tentu membuat produk sesuai segmen konsumen yang bermacam-macam. Dan ceruk entry level di Indonesia masih cukup dalam untuk diisi. Nokia, yang saat ini masih memimpin pasar tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Country Manager Nokia Indonesia, Hasan Aula membahasakannya sebagai ‘kepedulian’ Nokia pada konsumen pengguna entry level sehingga Nokia masih memproduksi ponsel-ponsel berteknologi standar dan berharga sangat terjangkau.

Untuk sebuah produsen ponsel yang dikenal inovatif mengemas ponsel berteknologi tinggi, langkah untuk terus memproduksi ponsel kelas standar bukanlah langkah mundur. Lebih tepatnya memang seperti yang disebut Hasan Aula, sebagai bentuk kepedulian.

Selain Nokia, beberapa vendor ternama lainnya seperti Motorola dan Sony Ericsson juga masih memproduksi ponsel kelas standar. Penyebabnya adalah karena permintaan terhadap produk itu masih ada atau berarti masih ada pembelinya.

Hal sama juga dilakukan produsen elektronik. Sebut saja, misalnya, Sony, Panasonic, dan Philips yang masih terus memproduksi televisi tabung kendati televisi High Definition terus digiatkan inovasinya. Dengan kata lain, semasa pasar kelas entry level masih terbuka maka setiap produsen tentunya tidak akan melewatkannya.

Kembali tentang ponsel entry level Nokia, ponsel ini memiliki tampilan warna 65.000 komposisi. Kendati kelasnya berharga di bawah Rp 1 juta, tampilan layarnya sudah berwarna.

Apa yang diunggulkan dari ponsel-ponsel itu? Untuk tipe 1209 terdapat fitur pre-paid tracker yakni aplikasi untuk mengetahui biaya percakapan dan multiple phonebook yang memungkinkan hingga lima orang untuk membuat daftar kontak pribadi hingga 200 nomor.

Mengapa perlu ada aplikasi-aplikasi tersebut? Ternyata berdasarkan survei yang dilakukan Nokia terhadap konsumen di negara-negara berkembang antara lain India, Pakistan, termasuk Indonesia, terdapat fenomena berbagi telepon. Yakni satu ponsel digunakan beramai-ramai. Karena itulah pada tipe 1209 dibenamkan fitur untuk memudahkan personalisasi atas penggunaan ponsel secara bergantian sehingga setiap pengguna untuk ponsel yang sama bisa memiliki account sendiri untuk biaya percakapan dan juga daftar kontak pribadi.

Sebetulnya langkah membuat ponsel berfitur demikian, kurang menguntungkan dari sisi teori pemasaran dan penjualan karena konsumen akan cenderung cukup membeli satu ponsel untuk digunakan bergantian. Di sinilah pilihan kata ‘peduli’ yang diucapkan Hasan Aula menjadi tepat secara kontekstual.

Bagaimana dengan tipe 2600 Klasik? Apa yang diunggulkan dari ponsel yang pernah diluncurkan dan diluncurkan kembali pekan ini dengan embel-embel Klasik? Ternyata casing-nya yang gampang diganti. Penonjolan keunggulan ini mengingatkan pada Nokia 5110 atau lebih populer dengan sebutan ponsel sejuta umat, sepuluh tahun lalu.

Konsep casing warna warni dan gampang dibongkar-pasang menjadi jualan laris waktu itu. Apakah 2600 Klasik ini mencoba mengingatkan fenomena ganti-ganti casing yang pernah marak itu? Cuma pasar yang bisa menjawab.

Yang pasti ponsel tipe ini menggunakan layar warna 65.000 komposisi, dilengkapi kamera video graphic array, platform general packet radio services, dan push e-mail, Bluetooth, nada dering MP3 serta radio FM.

Fitur-fitur yang ditanamkan di ponsel itu cukup mewah untuk kategori ponsel standar.

Lantas apa hubungannya dengan tempe? Beberapa waktu ini sebagian masyarakat kita dibuat kelimpungan mencari tempe gara-gara harga kedelai naik. Kita sering meremehkan tempe. Mung- kin karena harganya murah.

Muncul, misalnya, sebutan mental tempe. Padahal pada kata “mental tempe” itu tak jelas seperti apa deskripsi mental sehingga dihubungkan dengan tempe. Apakah identik dengan saat tempe itu mengalami proses fermentasi atau ketika tempe mulai membusuk? Mental tempe diartikan lemah, cengeng. Lho, padahal tempe cukup mengandung gizi.

Naiknya harga kedelai sehingga membuat pengusaha tempe mengurangi bahkan tidak memproduksi tempe, membuat semua orang tiba-tiba mendamba, merindukan makan tempe.

Nah, berhubungan dengan produk entry level tadi, terkadang kita meremehkan sesuatu yang berharga murah sebagai tidak keren. Ini sama dengan pengguna ponsel yang meremehkan produk entry level dan memaksakan diri membeli produk berteknologi tinggi. Padahal produk yang dianggap berteknologi tinggi tadi cukup mahal. Ironisnya, serangkaian fitur yang canggih jadi mubazir karena si pemilik tak bisa memfungsikannya.

Pelajaran yang bisa dipetik dari sini, barang murah belum tentu murahan. Apalagi bila si pembuatnya adalah produsen top dunia. Jadi? Ya barangkali ke depan kita bisa mengendarai Ferrari kelas entry level atau mendengarkan Bang&Oflusen kelas entry level dan berkasut Jimmy Choo kelas entry level. Saya terlalu mengada-ada ya? [SP/S.Nuke Ernawati]