osteoporosisMendengar osteoporosis atau keropos tulang, mungkin orang akan mengaitkannya dengan penuaan. Pasalnya, keropos identik dengan sesuatu yang sudah berumur panjang. Misalnya saja rumah terbuat dari kayu, yang secara perlahan akan keropos seiring dengan lama bangunan itu berdiri. Kayu yang tadinya padat akan terlihat berongga-rongga dan rapuh.Tak berbeda dengan tubuh manusia. Bila kayu pada rumah berfungsi sebagai kerangka yang menyangga bangunan sehingga dapat berdiri dan tampak kukuh, maka pada manusia yang berperan menyangga tubuh manusia adalah tulang. Gabungan dari beberapa tulang inilah yang membentuk rangka sehingga tubuh dapat tegak dan organ-organ vital terlindungi. Apa jadinya bila tulang kita keropos?

Tulang akan patah, tubuh semakin pendek dan bungkuk. Namun, hal ini muncul tanpa gejala khas sehingga orang tidak menyadari bahwa di dalam dirinya sudah terjadi proses pengeroposan tulang. Umumnya gejala yang dirasakan berupa pegal, linu dan nyeri tulang, serta kehilangan tinggi badan akibat punggung yang membungkuk.

Celakanya, ada anggapan bahwa usia lanjutlah yang mengalami osteoporosis. Padahal, beberapa pemeriksaan kepadatan tulang dengan densitometer memperlihatkan bahwa wanita usia muda, yaitu 25 tahun, mulai meningkat risiko osteoporosis.

Osteoporosis berasal dari kata osteo yang berarti tulang dan porous yang berarti keropos, sehingga secara keseluruhan osteoporosis berarti tulang yang keropos. Lalu, seberapa mengkhawatirkan masalah keropos tulang ini di Indonesia?

Ketua Umum Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi) Prof Dr dr Ichramsjah A Rachman SpOG-KFER menyebutkan, osteoporosis menjadi penyakit yang memerlukan perhatian semua pihak karena terkait dengan usia harapan hidup yang meningkat dari tahun ke tahun. Osteoporosis adalah satu dari sekian banyak penyakit yang menyertai penuaan.

Keropos tulang adalah proses alamiah yang sulit ditiadakan. Khusus pada wanita, ujar Ichramsjah, kejadian osteoporosis lebih cepat dan berat dibanding pria. Karena menurunnya dan atau hilangnya hormon estrogen di dalam tubuh ketika berusia lanjut. Keropos tulang semacam ini tergolong osteoporosis primer. Sedangkan pada pria dikenal osteoporosis sekunder, yakni keropos tulang yang disebabkan penyakit lain, misalnya diabetes mellitus (DM).

Penurunan hormon estrogen secara alamiah terjadi pada wanita berusia 40 tahun, yang menimbulkan gangguan haid (dari yang semula teratur menjadi tidak teratur). Memasuki usia 45 tahun sampai 50 tahun muncul berbagai keluhan dengan gejala-gejala antara lain gejolak panas, keringat banyak, nyeri tulang belakang, keputihan, sulit tidur, pelupa, pemarah, libido turun, osteopenia (kepadatan tulang menurun) yang kadangkala mencapai osteoporosis. Kemudian, saat memasuki masa pascamenopause (usia 55 tahun) gejala yang paling menonjol adalah berdebar, nyeri tulang belakang, rasa lemah, lesu dan osteoporosis.

Pembentukan Tulang

penyebabDengan menurunnya kadar estrogen, maka proses osteoblas (pembentukan tulang) yang berfungsi membentuk tulang baru terhambat dan fungsi osteoklas (perusakan/resorpsi tulang) meningkat. Akibatnya, tulang tua diserap dan dirusak osteoklas tetapi tidak dibentuk tulang baru oleh osteoblas sehingga tulang menjadi osteoporosis.

Kejadian osteoporosis primer pada wanita, menurut Ichramsjah, tidak hanya dipengaruhi penurunan kadar hormon estrogen, tetapi juga dipengaruhi asupan kalsium, aktivitas, paparan ultraviolet dan sinar matahari yang singkat, gaya hidup (merokok dan alkohol), dan obat-obat yang bisa menurunkan massa tulang.

Penurunan hormon estrogen, ujarnya, meningkatkan risiko osteoporosis karena seorang ibu menjadi pemalas, asupan kalsium menurun, paparan matahari menurun dan aktivitas menurun. “Pada pria lebih cenderung terjadi osteoporosis sekunder. Pada usia 70-75 tahun kadar testosteron menurun. Demikian juga dengan kadar estrogen. Kepadatan tulang mulai menurun pada masa andropause. Osteoporosis primer lebih sering pada wanita, 6 sampai 8 kali lebih banyak kejadiannya dibanding pria,” kata Ichramsjah.

Tulang secara makroskopik bentuknya dibagi dua yaitu tulang panjang dan tulang pipih. Bagian luar tulang terdiri dari bagian yang padat disebut tulang kortikal (kompakta) sebagai pembungkus bagian dalam yang disebut tulang trabekular (spongiosa). Proses pembentukan tulang (formasi tulang) dimulai dari dalam kandungan dan terus dibentuk secara menyeluruh sampai tercapai puncak massa tulang. Pada pria dan wanita, massa tulang mencapai puncak pada usia 30 tahunan. Setelah itu massa tulang pun menurun.

Pertumbuhan tulang di rahim terutama dipengaruhi oleh hormon plasenta dan kalsium. Setelah anak lahir, proses pertumbuhan tulang terutama diatur hormon pertumbuhan, kalsium, dan aktivitas anak tersebut. Dalam proses pembentukan tulang berperan osteoblas dan osteoklas. Keduanya bekerja serentak secara berpasangan yang dipengaruhi banyak faktor yang saling bertolak belakang (memicu osteoblas dan menghambat osteoklas atau sebaliknya) agar tercapai proses pembentukan tulang yang seimbang. Sel osteoblas berusia sekitar tiga bulan, sedangkan sel osteoklas hanya dua minggu.

Kejadian ancaman patah tulang akibat osteoporosis telah menghantui dunia kedokteran dengan kisaran kejadian di luar negeri 25-29 persen. Apabila terjadi patah tulang maka risiko kematian ibu meningkat akibat gangguan faktor pembekuan (stroke) pada saat perawatan pascaoperasi. Karena tidak menimbulkan keluhan klinis, kecuali fraktur (patah tulang), osteoporosis dijuluki “si pencuri di malam hari”. Di samping itu, mendiagnosis penyakit ini secara klinis pun sulit. Untuk menilai secara langsung ada atau tidak osteoporosis antara lain dilakukan dengan pemeriksaan dengan densitometer.

Lalu, apakah tulang yang sudah keropos bisa normal kembali dengan berbagai metode pengobatan? Menurut Ichramsjah, tulang yang sudah keropos tidak bisa dinormalkan kembali. Pengobatan bisa meningkatkan kepadatan tulang sehingga yang tadinya osteoporosis menjadi osteopenia (setingkat di atas osteoporosis). Pengobatan osteoporosis antara lain dengan terapi sulih horman (TSH) dengan hormon estrogen selama lima sampai tujuh tahun dengan pengawasan yang ketat. Karena keterbatasan pemakaian hormon estrogen, maka saat ini dipergunakan fitoestrogen (estrogen tumbuh-tumbuhan) antara lain terdapat pada kedelai dan produknya seperti tahu, tempe dan susu kedelai. (N-4)