Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali mengutip kisah seorang alim bernama
Alqamah yang berwasiat kepada anaknya tentang arti persahabatan hakiki :
“Wahai anakku, jika engkau perlu berteman bertemanlah dengan orang yang
jika
engkau membelanya, ia pun melindungimu. Jika engkau berbuat baik padanya,
ia
pun membalasnya. Jika engkau berbuat dosa, ia pun berusaha mencegahmu.
Bertemanlah dengan orang yang jika engkau meminta sesuatu, ia memberi. Jika
engkau diam, ia menyapamu, jika engkau mengalami musibah, ia menolongmu.
Bertemanlah dengan orang yang apabila engkau berkata kemudian ia
membenarkanmu
dan menasehatimu. Dan jika kalian bertengkar, ia lebih mengutamakanmu.”

Jauh sebelum Alqamah mengatakan demikian, Rosulullah dengan para
sahabatnya,
terutama kaum Anshar telah memberikan sebuah contoh sejauh mana seharusnya
manusia bersahabat dalam kebaikan. Contoh tersebut digambarkan dengan
dipersaudarakannya para sahabat Muhajirin dan Anshar.

Sebuah hubungan persaudaraan yang tak akan bisa kita temui dengan mudah di
zaman sekarang.
Bagaimana seorang sahabat Anshar, dalam sebuah riwayat disebutkan, rela dan
ikhlas memberi setengah hartanya, bahkan satu dari dua istrinya untuk
sahabat
Muhajirin. Ada solidaritas yang luar biasa tingginya dalam hubungan ini.
Di zaman yang penuh persaingan seperti saat ini mungkinkah
hubungan-hubungan
ajaib itu bisa kita temui? Di mana kawan seiring saling jegal, hanya untuk
mendapat simpati dari atasan. Di mana seorang teman tak segan-segan
menggunting dalam lipatan hanya untuk mendapatkan pujian dari atasan.
Dengan kesadaran penuh ia mencoba untuk memojokkan saudara seiman hanya
karena ingin dekat dan mendapat sanjungan dari atasan. Jika melihat hal
demikian, pertanyaan mungkinkah persaudaraan yang luar biasa seperti para
sahabat Anshar dan Muhajirin bisa terwujud lagi, semakin terasa sulit
terwujudkan.

Meski demikian, sikap pesimis tidak selayaknya tumbuh dan berkembang. Bukan
tidak mungkin, karena Allah maha mampu atas segalanya. Ia dengan mudah
mempertautkan dua hati dalam satu cinta. Tentunya dengan
persyaratan-persyaratan yang diantaranya disebutkan oleh Alqamah di atas.
Kriteria teman atau sahabat yang ditulis oleh Alqamah tidak berlaku untuk
satu pihak saja. Melainkan kedua belah pihak yang ingin menjalin
persahabatan.
Singkatnya, seorang muslim itu haruslah mempunyai sifat simbiosis
mutualistis,
saling menguntungkan. Jika masing-masing pihak saling merasa ingin
memberikan
yang terbaik, itulah seorang muslim.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib. “Sesungguhnya
saudara
yang sebenarnya adalah yang selalu bersamamu, dan merugikan dirinya untuk
memberi manfaat kepadamu. Dan apabila terjadi musibah,ia mendatangimu
dan, ia korbankan dirinya untuk menolongmu.”

Hal yang sama juga sangat dianjurkan oleh Rosulullah, seperti dalam sebuah
hadist bahwa setiap muslim dengan muslim lainnya laksana satu tubuh. Jika
satu
bagian merasa sakit, maka bagian lainnya pun merasakan hal yang sama.

Lalu bagaimana dengan seorang yang selalu saja merasa belum lengkap harinya
jika belum mengabarkan aib saudaranya? Tak perlu berpanjang lebar
menjelaskan
hal yang demikian. Ada sebuah hadist yang menjelaskan bahwa bukan seorang
yang
beriman jika tetangga, teman, dan orang-orang yang dekat
dalam lingkungan belum merasa aman dari gangguan lidah dan tangannya.

Persaudaraan yang hakiki, tercipta bukan lantaran ikatan darah atau suku
dan
golongan tertentu. Persaudaraan hakiki adalah sebuah ikatan batin, ikatan
emosional dan perasaan, juga kesamaan pemikiran. Dan salah satunya yang
mampu
membangun ikatan-ikatan tersebut adalah sebuah ideologi, keyakinan,
kepercayaan, cita-cita dan lebih tinggi lagi adalah keimanan.

Nilai-nilai moral dalam Islamlah yang akhirnya mampu menyambung sebuah tali
persaudaraan berdasarkan keimanan. Allah swt berfirman, “Dan (Dia) Yang
mempersatukan hati mereka orang-orang beriman). Walaupun kamu membelanjakan
semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati
mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfaal:
63)

Jika kita membaca riwayat atau kisah-kisah pada zaman Rosulullah, akan kita
temukan dengan mudah sebuah bentuk persaudaraan yang luar biasa.Di mana
para
sahabat saling berlomba untuk berkorban, saling mendahulukan sesama teman.
Bukan saja harta tapi juga nyawa yang mereka pertaruhkan untuk membela
sesama
muslim lainnya.

Ada kisah menarik yang ditulis Imam Ghazali tentang keindahan hubungan
sesama
muslim di masa tabi’in. Salah seorang mereka, tidak mau bersahabat dengan
orang yang masih menisbathkan benda pada dirinya seperti “sandalku”.
Masruq memiliki hutang, sementara saudaranya bernama Khaitsamah juga
memiliki
hutang. Suatu ketika Masruq pergi membayar utang Khaitsamah tanpa
sepengetahuannya, dan Khaitsamah pun pergi membayar hutang Masruq tanpa
sepengetahuannya. Di antara generasi salafushalih ada yang mencari orang

untuk dijadikan tanggungannya selama empat puluh tahun setelah kematian
orang
tuanya. Ia memenuhi keperluan mereka, dan mendatangi mereka setiap hari
seraya
memberi harta sehingga mereka tidak merasa kehilangan orang
tua mereka kecuali jasadnya saja. Salah seorang di antara mereka biasa
mendatangi rumah saudaranya seraya bertanya, “Apakah kamu punya minyak?
Apakah
kamu punya garam?” dan sebagainya. Wajar saja bila Rosulullah menegaskan
dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Allah swt berfirman, “Pasti mendapatkan
cinta-Ku orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku. Pasti mendapatkan
cinta-Ku orang-orang yang saling mencintai karena-Ku. Pasti mendapatkan
cinta-Ku orang yang saling berkorban karena-Ku. Pasti mendapatkan cinta-Ku
orang yang saling membela karena-Ku.”
(HR. Ahmad dan Hakim, ia menshahihkannya)

Demikianlah implementasi firman Allah swt, “Sesungguhnya orang-orang mu’min
itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10). Persaudaraan sejati yang lahir dari
keimanan. Bohong saja jika seorang mengatakan beriman tapi setiap hari ia
selalu saja mengorek aib saudara muslimnya. Omong besar saja, jika
seseorang
mengatakan bahwa ia telah beriman, tapi dendamnya,kemarahannya dan
kebenciannya pada saudaranya seiman tak pernah hilang.