Istana Besar.

Masjid Besar

Masih ingat ketika saya pertama kali menyeberang negeri “Singa” Singapura untuk singgah di salah satu negeri paling selatan Malaysia, Johor Bahru tahun 1995. Saat di Singapura, saya sudah memutuskan

untuk bermalam di Johor Bahru. Tujuannya, untuk melihat-lihat negeri yang luasnya 18.922 km persegi tersebut.

Akan tetapi, niat untuk bermalam di Johor Bahru, terpaksa saya batalkan. Mengapa? Kota yang dikelilingi oleh Laut China Selatan di bagian timur dan Selat Malaka di bagian barat ini, bagaikan “kota mati”, apalagi di saat hari mulai beranjak malam.

Pukul 20.00 waktu setempat atau selepas salat Isya, sudah tidak ada lagi “kehidupan”. Semua orang sepertinya lebih senang berada di dalam rumah ketimbang harus menikmati dunia luar.

Setelah itu, 13 tahun kemudian, tepatnya dari tanggal 1 hingga 5 Juli 2008, saya mendapat kesempatan dari Tourism Malaysia untuk mengunjungi Johor Bahru. Sungguh di luar dugaan karena akhirnya saya melewatkan beberapa hari dan bermalam di kota itu.

Johor Bahru yang sebelumnya hanya mengandalkan pada transportasi darat dan laut, kini sudah memiliki bandara internasional, Sultan Ismail International Airport (JHB) yang lebih akrab disebut Senai International.

Bandara yang memiliki jarak lintasan terbang sepanjang 3.800 meter tersebut, menjadi salah satu kekuatan Johor Bahru untuk lebih mendinamiskan segi ekonomi dan turis, apalagi dari bandara ini, jarak penerbangan ke Hong Kong, Makao, Guandong, Australia Utara, India, Filipina, dan Indonesia, semakin singkat, ketimbang harus ke Kuala Lumpur.

Setelah melewati pintu gerbang (bandara), memang tidak banyak yang bisa dinikmati karena saya beserta rombongan dari Jakarta, yaitu sejumlah wartawan dan para biro perjalanan yang jumlahnya mencapai 30 orang, tiba di Johor Bahru pada malam hari.

Akan tetapi, yang jelas, bakal ada sesuatu yang bakal ditampilkan di tanah Johor Bahru, dengan terorganisasinya acara penyambutan yang dilakukan oleh dinas pariwisata setempat yaitu dengan alunan musik Kompak (semacam Marawis di Indonesia ini) ditambah dengan kemeriahan warna-warni hiasan yang mereka sebut Daun Mangge.

Setelah bermalam di sebuah hotel bintang lima, Cinta Ayu All Suites Hotel, yaitu hotel berbentuk resor yang telah mendapatkan empat penghargaan sebagai resor terbaik tahun 2000, termasuk penghargaan untuk padang golfnya, kunjungan pertama adalah ke Masjid Sultan Abu Bakar.

Melalui bentuk bangunan dari masjid tersebut yang neo klasik, tidak salah jika masyarakat Johor menyebut Sultan Abu Bakar bin Temenggong Daeng Ibrahim (1862-1895) sebagai “Father of Modern Johor” (Bapak Johor Modern).

Di era kepemimpinan Abu Bakar, Johor mengalami perkembangan ekonomi yang pesat, sehingga rakyatnya hidup cukup makmur dan kerajaan mampu mendirikan berbagai bangunan megah dan besar, di antaranya masjid ini.

Masjid yang mampu menampung 3.000 jemaah itu, memiliki kontur bangunan yang berbeda-beda budaya seperti Inggris, Spanyol, dan lain-lain, yang diambil saat Abu Bakar berkunjung ke negara Eropa. Sedangkan atap masjid berwarna biru karena ini adalah warna yang disukai oleh sang sultan.

Barang-barang yang ada dalam masjid itu pun berasal saat Abu Bakar melakukan kunjungan ke luar negeri. Misalnya saja, tempat bara yang dia beli dari Tiongkok, tempat khotbah atau altar yang dibeli dari Turki, dan lain-lain.

Selain itu, Abu Bakar juga tidak melupakan kekayaan alam yang dimiliki negerinya, seperti adanya relief lada hitam dan gambir. Dua hasil kebun ini pada eranya Abu Bakar memberikan devisa yang besar. Bahkan, Johor pernah menjadi daerah penghasil lada hitam dan gambir terbesar di dunia.

Setelah itu, kunjungan di hari kedua pun dilanjutkan dengan mengunjungi Istana Sultan Abu Bakar (Istana Besar) yang didirikan tahun 1866 dan kini sudah berubah fungsi menjadi museum. Di museum yang menghadap ke Selat Johor ini terdapat beberapa bangunan yang memuat saksi-saksi sejarah mengenai Johor Bahru. Pada bagian belakang museum berisi foto-foto asli sultan-sultan Johor Bahru beserta peninggalannya seperti pedang, gelas, gelar-gelar kehormatan, lukisan, dan lain-lain. Sementara di gedung utamanya, juga terdapat beberapa ruangan yang dipergunakan para sultan, baik untuk menerima tamu, ruang tidur sultan, ruang tidur tamu, ruang sidang, serta berbagai barang peninggalan sultan. Sayang, para pengunjung tidak boleh mengabadikan barang-barang bersejarah itu.

Gedung lainnya yang menjadi andalan wisata budaya Johor adalah Gedung Sultan Ibrahim. Gedung yang juga menggunakan arsitektur bergaya neoklasik ini, sebentar lagi akan dijadikan museum. Saat ini gedung berwarna abu-abu tua tersebut masih dijadikan kantor pertanahan negeri Johor.

Selain gedung, wisata budaya yang diandalkan Johor adalah keragaman budaya dan agama. Sebagaimana diketahui, Johor yang memiliki populasi 3.309.000 jiwa, didominasi oleh orang asli Melayu yang beragama Islam (59 persen), kemudian orang keturunan Tiongkok beragama Buddha (26 persen), orang keturunan India beragama Hindu (7 persen), dan sisanya pendatang, termasuk dari Indonesia yang jumlahnya mencapai 700.000 orang.

Desaru Fruit Farm.

Desaru Fruit Farm.

Danga Bay

Selain bangunan-bangunan bersejarah, Johor Bahru juga memiliki tempat wisata yang akan menjadi andalan mereka dalam menyedot jumlah wisatawan. Pinggiran pantai yang dahulunya tidak terjamah, kini sudah disulap menjadi tempat wisata unggulan dengan suasana modern, yaitu Danga Bay.

Danga Bay bisa dikatakan sebagai proyek mercusuar yang akan mengubah wajah Johor Bahru. Daerah yang dahulunya tempat bermukim orang-orang asli (orang-orang pantai) Seletar ini, termasuk dalam pembangunan ekonomi kawasan selatan yang dilakukan oleh Iskandar Malaysia yang mencakup areal seluas 2.217 km persegi mulai dari Johor Bahru, Kontian, Kulai, dan Pasir Gudang.

Akan tetapi, sebelum, proyek Danga Bay yang menghabiskan dana sekitar 4 miliar Ringgit ini untuk kawasan seluas 1640 hektare dimulai, pemerintah negeri lebih membenahi infrastruktur sebagai penunjang utama tempat-tempat wisata yaitu jalan raya di pesisir pantai, komunikasi, dan lain-lain. Proyek mercusuar itu sendiri diprediksikan akan selesai dalam 25 tahun dengan menghabiskan dana sekitar 160 miliar Ringgit dengan melibatkan 800.000 tenaga kerja.

Namun, dalam kurun waktu lima tahun pertama, sudah ada beberapa proyek yang selesai, termasuk Danga Bay. Danga Bay kini sudah memiliki beberapa fasilitas seperti restoran, arena permainan seperti Dunia Fantasi di Jakarta, pasar murah, dan lain-lain.

Bahkan, untuk menambah pesona Danga Bay, sebuah perusahaan swasta dari Dubai, telah menyiapkan dana sebesar US$ 8 miliar untuk membangun perumahan elite di kawasan pantai yang diberinama Putri Harbour. Pembangunan perumahan elite itu adalah bagian dari empat tahap pembangunan berikutnya di kawasan pantai.

Selain Danga Bay yang akan menjadi “Vision City of The South”, wisata kawasan pantai lainnya yang menjadi andalan Johor Bahru adalah Desaru. Letak Desaru yang disebut-sebut sebagai Kejora (Kejayaan Johor Tenggara) sendiri sekitar 129 km dari Johor Bahru ke arah tenggara. Di Desaru ini, selain terdapat beberapa hotel dengan nuansa resor, juga ada wisata agrobisnis yaitu kebun buah yang disebut Desaru Fruit Farm.

Di tempat yang luasnya 100 hektare ini, terdapat 100 jenis tanaman buah tropis dan 10 jenis hewan yang ditempatkan pada sebuah lokasi yang disebut Kebun Binatang Mini (Mini Zoo). Desaru Fruit Farm yang pengelolaannya dipimpin oleh Henry Goh ini mempekerjakan sedikitnya 100 pekerja, yang 80 di antaranya adalah tenaga kerja dari Indonesia dan kebanyakan berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Tenaga kerja Indonesia ini dibayar 2 Ringgit per jam dan sehari mereka bekerja selama 9 jam.

Pada era 80-an, kawasan Pantai Desaru menjadi primadona para turis asing maupun lokal. Akan tetapi, ketika dunia dilanda krisis ekonomi tahun 1997, Desaru mulai sepi dan ditinggalkan. Kini, setelah Menteri Pariwisata Malaysia dipimpin oleh Y B Datuk Seri Azalina Binti Dato’ Otthman Said, yang merupakan orang asli Desaru, berbagai sektor pariwisata di tempat itu mulai dikembangkan lagi. Terbukti, dengan telah dibangunnya sejumlah hotel berbintang lima serta padang golf.

Buah naga di Desaru Fruit Farm.

“Home Stay”

Bicara soal padang golf, di seluruh Johor Bahru terdapat sebanyak 32 padang golf yang seluruhnya berstandar internasional yaitu 18 lubang. Selain 36 hotel berbintang seperti The Zon, Desaru Golden Beach, Selesa, dan lain-lain, dalam menopang program pemerintah yaitu Visit Malaysia 2008, dinas pariwisata di Johor Bahru juga mengembangkan program home stay seperti di Kampung Gunung Pulai, Tanjung Piai, Pontian, dan lain-lain. Hadirnya Rumah Sakit Puteri Specialist Hospital (KPJ) di Johor Bahru juga menambah kesiapan negeri ini untuk menyambut kehadiran para pendatang. Apalagi, biaya perawatan di rumah sakit ini terbilang murah. Contohnya adalah operasi jantung (by pass) yang hanya 7.000 Ringgit, sementara di Kuala Lumpur biayanya mencapai US$7.000. Selain operasi jantung, ternyata banyak orang Indonesia yang berobat di rumah sakit itu untuk berkonsultasi mendapatkan keturunan atau operasi plastik.

Pusat perbelanjaan di Johor Bahru pun juga sudah modern seperti di Jusco, Angsana, dan lain-lain. Yang mengherankan lagi, mal-mal tersebut berani memberikan potongan harga yang tinggi terhadap produk-produk bermerek. Tidak heran, bila penggemar belanja dari luar Johor Bahru banyak yang mendatangi mal-mal tersebut.

Hadirnya Johor International Convention Centre Malaysia atau Persada Johor, menjadikan Johor Bahru sebagai daerah yang sangat layak untuk dijadikan tempat konferensi akbar tingkat nasional maupun internasional. Di Persada Johor ini, terdapat beberapa ruang pertemuan yang masing-masing mampu menampung ratusan hingga ribuan orang. [SP/Ferry Kodrat]