MAKNA DAN HUKUM QASHAR

Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya)
menjadi dua rakaat.[1]

Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan
para ulama).[2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

“Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang
kafir”[An-Nisaa’: 101]

Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab
radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: “Jika kamu takut di
serang orang-orang kafir”, padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar
radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu
akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa’ala alihi
wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah
dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut.[3]

“Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat
melalui lisan Nabimu shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam empat
raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar”[4]

“Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua
raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat Ied adalah dua
raka’at”[5]

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata : Aku menemani Rasulullah
shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak
pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu
Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at
sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak
pernah menambah atas duaraka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman
radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai
wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta’ala telah berfirman :Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”[Al-Ahzaab
: 21][6]

Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah,
maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota
Madinah”[7]
Foote Note
[1]. Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu’jamul Washit hal 738.
[2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab
4/165.
[3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami’li Ahkamil Qur’an, Al-
Qurthubi 5/226-227.
[4]. HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll.
[5]. HR. Ibnu Majah dan An-Nasa’i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu
Majah 871 dan Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayim 1/467
[6]. HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal
Kitabil Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138.
[7]. HR. Bukhari dan Muslim.

http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0

JAMA’

Menjama’ shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar
atau Maghrib dan ‘Isya’) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh
seseorang melakukan jama’taqdim dan jama’ta’khir.[19]

Jama’taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu
shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur,
Maghrib dan ‘Isya’ dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama’ taqdim harus
dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh
terbalik.

Adapun jama’ ta’khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam
waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar,
Maghrib dan ‘Isya’dikerjakan dalam waktu, Isya’, Jama’ ta’khir boleh
dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang
afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahuhu alaihi wa’ala alihi wasallam.[20]

Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya – baik
musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur,
jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21]

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya dalah
musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat
tujuan[22] , turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]

Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa
seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan
tidak dijadikan sebagai kebiasaan.”[25]

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah
shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan
ashar dan antara maghrib dengan isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan
safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan
hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam tidak ingin
memberatkan ummatnya.[26]

Foote Note
[19]. Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.
[20]. Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah,
Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177.
[21]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah
1/316-317.
[22]. HR. Bukhari dan Muslim
[23]. HR. Muslim, Inbu Majah dll.
[24]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi
Al-Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317
[25]. Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah
wal Kitabil Aziz 141.
[26]. HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami¡¦ 1070.