Di sudut persimpangan jalan itu ia menjejerkan tiga tungku kecilnya.
Satu tungku lainnya terbuat dari batu yang disusun hingga menyerupai tungku. Bara api dari kayu bakar yang memerah menyesakki bagian bawah tungku, kemudian satu persatu wajan kecil yang terbuat dari tanah liat di atas tungku itu dituangkan adonan kue serabi. Beberapa orang terlihat menunggu kue serabi itu masak, menikmati kue serabi dalam keadaan masih hangat pasti menjadi sebab mereka rela menunggu kue diangkat dari wajan.

Ibu Ikah, 32 tahun, penjual kue serabi itu selalu terlihat berjualan di sudut simpang jalan. Ia menjajakan serabi di simpang jalan itu hanya di dua pekan terakhir saja, semenjak tanah kosong di sisi kanan persimpangan jalan itu tengah ramai oleh “pasar malam”.
Rombongan kemedi putar dan aneka mainan rakyat lainnya yang ikut ambil bagian menambah semarak pasar rakyat yang dibuka setiap malam itu. Sudah tentu itu membuat para pedagang seperti Bu Ikah tersenyum senang lantaran jajakannya laris manis.

Tapi malam itu, satu malam sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, Bu Ikah nampak sedih. Setumpuk kue serabi yang sudah dimasaknya belum terjual, dan bara api pun dipadamkannya sesaat sambil menunggu pembeli. “Berapa harga satu kuenya bu,” sapaan saya membuyarkan lamunannya, entah apa yang sedang dilamunkannya, tapi sangat jelas wajahnya memancarkan kesedihan.

Rupanya, malam itu tak banyak uang yang diperoleh ibu tiga anak itu. “Baru cukup untuk kembali modal saja pak,” lirihnya. Pesanan sepuluh kue serabi dari saya membuatnya sedikit tersenyum, kecil terdengar suaranya berucap syukur. Tapi tetap saja belum menghilangkan gurat muram di wajahnya. Lukisan di wajahnya itu yang memaksa saya untuk lebih lama lagi di tempat itu, namun bukan untuk menambah pembelian jumlah kue. “Sudah berapa kue terjual malam ini bu?” tanya saya mengagetkannya. Nampaknya ia tak menyangka mendapat pertanyaan itu.

Tak ada angka terbilang untuk pertanyaan itu, pun ketika pertanyaan tentang keuntungan yang diperolehnya malam ini. Kemudian ia tersenyum, dengan mata menerawang ia seperti sedang membaca langit. “Sejak hari pertama jualan di sini, saya dapat untung banyak. Tapi tiga hari terakhir ini, hanya uang kembali modal yang terbawa pulang. Ada sih sedikit lebihnya, tapi?Equot; ia menghentikan kalimatnya dan tertunduk sesaat. Sadar saya menatap wajahnya, Bu Ikah buru-buru membenahi wajahnya dan memaksakan sebuah senyum.

“Kenapa bu? Kok sedih,” saya bisa melihat dengan jelas ia sangat bersedih dan menduga kesedihan itu dikarenakan sedikitnya keuntungan yang diperolehnya tiga malam terakhir. Ternyata saya salah. “Bukan itu pak, biar cuma jualan kue serabi saya merasa sebagai orang berpenghasilan. Saya nggak mau dianggap orang lemah, dan karenanya saya selalu menyisihkan sedikit dari keuntungan berjualan kue untuk zakat atau sedekah ke orang yang lemah?Equot;

Nyaris tak ada kata lagi yang mampu terucap oleh saya mendengar alasan kesedihannya. Jika tak ia lanjutkan kalimatnya pun, saya mengerti maksudnya, jika tak ada keuntungan yang diperolehnya malam itu, bagaimana ia bisa berinfak? Kalimat terakhirnya begitu menohok makna kedermawanan yang selama ini saya pahami. Bu Ikah membuktikan, bukan hanya orang kaya yang mampu menyandang status dermawan.

“Entah berapa yang bisa saya sedekahkan dari sedikit keuntungan saya malam ini?” kalimat Bu Ikah itu terus membayangi sepanjang malam saya, hingga detik ini.

Bayu Gawtama