SHALAT ADALAH TIANG AGAMA
Seorang muslim yang mendirikan shalat dengan sempurna akan melahirkan sikap dan perilaku yang ihsan, dimana setiap saat ia merasakan kehadiran Allah dalam jiwanya, sehingga selalu berhati-hati dalam sikap dan tindakannya. Seorang mushalli juga memiliki karakteristik yang ideal dalam interaksi sosialnya, karena ia mengaplikasikan makna dan esensi shalat berjama’ah, baik sebagai imam maupun sebagai makmum.
Namun, mengapa kondisi yang menimpa umat Islam kini jauh panggang dari api. Betapa banyak yang melakukan shalat, tetapi hidupnya terpuruk dan jauh dari rahmat Allah. Bahkan seribu satu masjid pun di negeri ini tidak mampu menahan derasnya krisis multidimensi yang terjadi?!
Inilah kondisi yang diprediksi olerh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Tali-tali Islam akan terlepas satu persatu, yang pertama akan lepas adalah hukum-hukum Allah (tidak ditegakkan) dan yang terakhir adalah shalat”.
Ketika masjid-masjid hanya seonggok bangunan tanpa diisi amal shalih.
Ketika lengkingan adzan hanya dijadikan seruan parau yang bias oleh hiruk-pikuk nyanyian para selebritis.
Ketika Al Qur’an hanya dijadikan pajangan di almari atau coretan grafiti dan
Ketika shalat hanya gerakan-gerakan kaku yang kehilangan maknanya,
Maka selama itu rahmat Allah tak tersentuh.
Maka, sudah saatnya kita kembali menemukan makna-makna di balik shalat kita dan mewariskan kepada generasi pelanjut bagaimana shalat yang benar sebelum terjadi euthanasia (pemusnahan satu generasi) ketika mereka lalai dan meninggalkan shalat, serta kehilangan esensi shalatnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
” Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya sedikitpun”. (Q.S. Maryam : 59 – 60)
dikutip dari bagian Kata Pengantar
Risalah Shalat (judul asli Fatawa Muhimmah Tata’allaqu Bi Al Shalah)
oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz
KOMENTAR