oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

Dari Abu Qatadah Al-Harits bin Rab’y Al-Anshary Radhiyallahu anhu, dia
berkata, ‘Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk
sebelum shalat dua raka’at”.

MAKNA HADITS
Sulaik Al-Ghathafany masuk masjid Nabawi ketika Jum’at, saat Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, lalu dia langsung
duduk. Beliau menyuruhnya bediri dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau
menyatakan bahwa masjid-masjid itu memiliki kesucian dan kehormatan, bahwa
ia memiliki hak tahiyat atas orang yang memasukinya. Caranya, dia tidak
langsung duduk sebelum shalat dua rakaat.

Karena itulah beliau tidak memberi kesempatan, termasuk pula terhadap
orang yang duduk itu untuk mendengarkan khutbah belaiu.

PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA

Para ulama sering berbeda pendapat tentang pembolehan mengerjakan
shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab seperti shalat Tahiyatul Masjid,
gerhana, jenazah dan qadha’ shalat yang ketinggalan pada waktu-waktu
larangan shalat.

Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali melarangnya, yang didasarkan kepada
hadits-hadits pelarangannya, seperti hadits, “Tidak ada shalat sesudah
Subuh hingga matahari terbit dan tidak ada shalat sesudah Ashar hingga
matahari terbenam”. Begitu pula hadits, “Tiga waktu, Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam melarang kami shalat di dalamnya”.

Sedangkan As-Syafi’i dan segolongan ulama membolehkannya tanpa hukum
makruh. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad serta
merupakan pilihan pendapat Ibnu Taimiyah. Mereka berhujjah dalam hadits
dalam bab ini dan lain-lainnya yang semisal seperti hadits, ‘Barangsiapa
tidur hingga ketinggalan mengerjakan witir atau lupa, hendaklah
mengerjakannya selagi mengingatnya’. Begitu pula hadits, ‘Sesungguhnya
matahari dan rembulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan
Allah. Jika kalian melihatnya, maka dirikanlah shalat’.

Masing-masing di antara dalil-dalil kedua belah pihak bersifat umum dari
satu sisi dan bersifat khusus dari sisi yang lain. Hanya saja pembolehan
shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab pada waktu-waktu ini merupakan
pengamalan terhadap semua dalil-dalil, sehingga masing-masing di antara
dalil-dalil itu dapat ditakwili sedemikian rupa. Disamping itu, pembolehan
tersebut bisa memperbanyak ibadah yang memiliki sandaran kepada syarat.

Perbedaan pendapat ini sudah pernah disinggung dalam hadits Ibnu Abbas
(nomor 52). Namun kami ingin memberi tambahan kejelasan yang diambilkan
dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang menyebutkan bahwa dia
tidak berkomentar terhadap shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab yang
didasarkan kepada beberapa dalil yang kemudian diajdikan hujjah oleh
orang-orang yang melarangnya. Tapi setelah diteliti lebih lanjut bahwa
dalil-dalil itu ada yang dhaif atau tidak mengarah, seperti sabda beliau.
‘Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, janganlah dia duduk
sehingga shalat dua rakaat’. Sabda beliau ini bersifat umum dan tidak ada
kekhususan di dalamnya, karena itu merupakan hujjah menurut kesepakat
salaf.

Telah disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh
orang yang masuk masjid mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, ketika beliau
sedang berkhutbah. Adapun hadits Ibnu Umar, ‘Janganlah kalian mendekatkan
shalat kalian dengan terbit dan terbenamnya matahari’. Hal ini berlaku
untuk shalat tatawu’ secara tak terbatas. Telah disebutkan pembolehan
shalat-shalat yang memiliki sebab berdasarkan nash, seperti dua rakaat
thawaf. Sebagian lagi dengan nash dan ijma’, seperti shalat jenazah
setelah Ashar. Jika dilihat dari sisi pembolehan, maka tidak ada alasan
kecuali keberadaan shalat itu yang memiliki sebab. Syariat telah
menetapkan bahwa shalat dikerjakan sebisanya, ketika ada kekhawatiran akan
habis waktunya, jika memungkinkan pelaksanaannya setelah waktunya dengan
cara yang sempurna, begitu pula shalat-shalat tathawu’ yang memiliki
sebab.

KESIMPULAN HADITS
[1]. Pensyariatan Tahiyatul Masjid bagi orang yang memasukinya. Shalat ini
wajib menurut golongan Zhahiriyah karena berdasarkan kepada zhahir hadits.
Menurut pendapat jumhur, shalat ini sunat.
[2]. Shalat ini disyariatkan bagi orang yang memasuki masjid kapanpun
waktunya, meskipun pada waktu larangan shalat, karena keumuman hadits.
Telah disebutkan dibagian atas pendapat lain tentang hal ini.
[3]. Sunat wudhu bagi orang yang memasuki masjid, agar dia tidak
ketinggalan mengerjakan shalat yang diperintahkan ini.
[4]. Para ulama membatasi Masjidil Haram, bahwa tahiyatnya adalah thawaf.
Tapi bagi orang yang tidak berniat thawaf atau dia kesulitan
mengerjakannya, maka tidak seharusnya dia meninggalkan shalat ini, yang
berarti dia shalat dua rakaat

[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia
Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam,
Penerbit Darul Fallah]