Guest House Jampit yang dibangun pada 1927 berdiri kokoh dikelilingi jajaran cemara dan taman bergaya Eropa. Foto-foto: SP/Sotyati

Air Terjun Blawan di Kalianyar, Sempol, di hilir Kali Pahit, campuran air dingin dan air panas.

Kawah Ijen Jawa Timur, cukup dikenal sebagai tempat orang memanjakan pandangan mata pada alam. Tempat orang berwisata mencari sesuatu yang menyenangkan dan menyegarkan. Namun Kalisat, Jampit, dan Blawan, hampir tak pernah disebut-sebut, bahkan pada saat orang berkunjung ke Kawah Ijen itu. Kawasan yang menjadi persinggahan terakhir sebelum menjelajahi Kawah Ijen itu ternyata menyimpan pesona yang tak kalah menarik.

Pemandangan indah “rumah Belanda” akhirnya terpampang di depan mata. Tak jauh berbeda dengan gambar sampul leaflet Arabica Homestay keluaran PTP Nusantara XII, yang diperoleh di kantor Kebun Kalisat dan Jampit PTP Nusantara XII.

Jajaran aneka konifera seperti menyelimuti rumah itu. Sungguh cantik! Bukan hanya karena struktur bangunannya yang kokoh, atau arsitekturnya yang didominasi kayu bercat hitam, namun juga karena hamparan taman yang mengitarinya. Aneka bunga gladiol, krisan, aster, anyelir, lili, calla lily, gerbera, dianthus, pelargonium, bagaikan hiasan di tengah-tengah hamparan kehijauan. Seperti di pedalaman Eropa saja layaknya.

“Rumah Belanda” bernama Guest House Jampit itu terletak di dalam areal kebun kopi Kalisat dan Jampit, di Sempol, Bondowoso. Bunga-bunga Eropa sangat memungkinkan tumbuh di tempat itu karena cocok dengan cuaca setempat. Jampit terletak di ketinggian 1.100 hingga 1.600 meter di atas permukaan air laut.

Walau terkesan terpencil, Guest House Jampit ternyata sangat dikenal di kalangan wisatawan mancanegara. Buka saja buku tamu. Marco Pereira dari Lisabon, Portugal, Pual Schwartz dari Paris, Prancis, Lies de Graaf dari Wageningen, Belanda, dan Pierre L Schillinger dari Prancis, mencoretkan kesan-kesan selama tinggal di Guest House Jampit. Tak terlupakan adalah kesan umum yang muncul dalam coretan mereka.

“Paling banyak memang tamu dari Prancis. Umumnya singgah di tempat ini dalam perjalanan ke Kawah Ijen,” kata Ir Setyo Wuryanto, Administratur Kebun Kalisat dan Jampit PTPN XII, yang mengelola wisma tamu itu.

Rumah berlantai kayu bertarif sewa Rp 1,5 juta per malam itu terdiri atas lima kamar, yang semua terletak di lantai bawah. Lantai atas merupakan ruang duduk yang dilengkapi perapian. Jendela-jendela besar dan teras di sudut kanan, memberikan keleluasaan bagi tamu untuk menikmati pemandangan luar yang menyejukkan. Tamu-tamu yang menuliskan kesan itu tak lupa menyinggung hidangan khas kentang rebus yang disuguhkan panas-panas disiram madu. “Baik kentang maupun madu itu produksi kami sendiri,” Setyo Wuryanto menambahkan.

Guest House Jampit ternyata bukan satu-satunya “base camp” favorit sebelum menjelajahi Kawah Ijen. Wisatawan juga bisa memilih bermalam di Catimor Homestay di Blawan, tak jauh dari Guest House Jampit.

Tak kalah cantik bangunannya. Rumah panggung yang dulunya didiami Sinder Degener itu dibangun pada 1894. Lantainya papan, dindingnya anyaman bambu bercat putih. PTPN XII masih mempertahankan keasliannya. Bahkan di dinding ruang tamu dan lorong-lorongnya, masih bisa dinikmati foto-foto lama Sinder Degener yang pernah bertugas di tempat itu, bersama keluarga.

Pemandangan luar di Catimor Homestay tidak secantik Guest House Jampit. Terletak di ketinggian 900 – 1.000 meter di atas permukaan laut, udaranya juga tidak sedingin Jampit. Namun, penginapan itu lebih menawarkan suasana rumah. “Umumnya tamu asing tidak suka ada suara-suara. Maunya sepi, karena subuh hari biasanya mereka sudah berangkat ke Kawah Ijen untuk menyongsong matahari terbit,” kata Supandri, Administratur Kebun Blawan, yang mengelola penginapan itu.

Catimor Homestay di Blawan yang dibangun pada 1894, bekas rumah Sinder Degener yang masih dipertahankan keasliannya.

Ruang makan di Wisma Arabica, yang berpemandangan lepas ke arah Kawah Ijen.

Legenda Damarwulan

Kalisat, Jampit dan Blawan, ditempuh dari Bondowoso jika perjalanan diawali dari Surabaya atau Malang selama lima jam dengan kendaraan pribadi, atau dari Situbondo jika perjalanan diawali dari Banyuwangi. Pertigaan Gardu Atak menjadi awal perjalanan ke Kantor Kebun Kalisat dan Jampit. Jarak 43 kilometer akan ditempuh melalui jalan menanjak berbelok-belok, dengan pemandangan pinus, sengon, kopi rakyat di kiri kanan jalan.

Berbeda dengan wisatawan asing, wisatawan domestik umumnya memilih bermalam di Wisma Arabica sebelum melanjutkan perjalanan ke Kawah Ijen. Letaknya di sebelah kantor kebun.

Kalaupun tidak ke Kawah Ijen, banyak hal yang bisa dilihat dengan berkeliling kawasan kebun kopi Kalisat. Pengelola memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk melihat kesibukan di kebun, termasuk memanen kopi, juga melihat proses pengolahan kopi di pabrik. Sembilan puluh persen kopi arabika hasil kebun Kalisat dan Jampit itu untuk memenuhi pasar ekspor.

Selain kopi, Kebun Kalisat dan Jampit juga mengembangkan tanaman stroberi. Panenan stroberi itu dikirim ke beberapa swalayan di Jember, Bondowoso, hingga Bali. Kebun stroberi dibangun tak jauh dari kolam renang. Kebun Kalisat dan Jampit, juga Kebun Blawan, kini sedang mengembangkan tanaman macadamia dan terong belanda.

Berkendaraan sejarak 14 kilometer dari kantor kebun, terpampang hamparan tanah luas tanpa tanaman selain kehijauan rumput dan tanaman perdu yang tidak bernilai ekonomis. Pada akhir Desember lalu, tampak ternak-ternak sapi dan kambing dilepas di hamparan padang rumput itu.

Kawasan yang masih masuk dalam wilayah kebun itu memang tidak bisa ditanami. Pada masa-masa tertentu turun hujan lebat yang langsung membeku. Frost.

Jalur itu berakhir di Kawah Wurung, kawah tidak aktif di jajaran Ijen. Napas langsung tertahan. Tak ubahnya pemandangan di padang savanna di gambar-gambar. Sejauh mata memandang, hanya tampak perbukitan sambung-menyambung, yang hanya ditumbuhi rerumputan dan bebatuan. Pada musim kemarau, tempat itu gersang. Kering-kerontang.

Satu lagi pemandangan yang tak boleh dilewatkan adalah Air Terjun Blawan. Air terjun setinggi 30 meter itu sangat memukau. Dari kejauhan, tampak benar perbedaan warna air yang membentuk tirai tebal itu. Sebagian berasal dari sumber mata air belerang yang mengalir dari Kali Pait.

Tak jauh dari lokasi air terjun itu, wisatawan bisa melepas lelah sambil berendam air belerang di bangunan yang dikelola pemerintah daerah setempat. Sayang, pemanfaatannya belum semaksimal seperti ditemui di Cipanas, Garut, Jawa Barat. Tetapi, merendam kaki selama 20 menit cukup mampu mengusir pegal-pegal selama menempuh tanjakan dan turunan ke air terjun.

Satu pemandangan lagi yang sayang dilewatkan adalah Kolam Damarwulan, kolam terbuka yang dikelilingi rimbunnya pepohonan. Pemilihan nama yang sangat imajinatif. Pepohonan rapat, sinar matahari yang terpantulkan permukaan air, keheningan suasana, serta nyanyian alam yang tak berkesudahan, mudah menyeret seseorang untuk kembali membuka ingatan akan legenda Damarwulan mengintip para bidadari yang sedang mandi. [SP/Sotyati]