Ibnu Khaldun yang hidup mondar-mandir dari Tunis, Granada dan Mesir
(1332-1406 M) sering disebut sebagai peletak dasar Sosiologi. Meski abad ke empatbelas disebut sebagai abad Neo-Hambalisme dimana Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memastikan kemenangan Neo Hambalisme atas teologi skolastik dan filsafat serta mulai memudarnys intelektual Islam, tetapi Ibnu Khaldun – dan juga Mulla Shadra- merupakan pengecualian. Jika Mulla Shadra sangat berpengaruh di Timur, Ibnu Khaldun justeru sangat besar pengaruhnya di Barat.
Ilmuwan yang pernah dilirik oleh Timur Leng untuk tinggal di istananya ini bukan hanya kaya dengan gagasan ilmu pengetahuan, tetapi juga kaya dengan pengalaman jabatan publik (dan hukum). Dua hal itulah yang menyebabkan teori-teori filsafat sejarah dan sosiologi politiknya tetap “membumi”. Kekokohan fondasi dari pengetahuan geografis, politis dan kultur yang dimilikinya menyebabkan ia memahami sunnatullah perubahan masyarakat, yang oleh karena itu ia menerima sistem politik monarki sebagai sesuatu yang alamiah.

Ada teori Ibnu Khaldun yang sangat menarik jika digunakan untuk menganalisis sejarah Indonesia . Dalam Muqaddimah nya Ibnu Khaldun menyebut tahap-tahap timbul tenggelamnya suatu negara menjadi lima tahap, yaitu (1) tahap konsolidasi dimana otoritas negara dengan dasar “demokrasi” didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah). (2) tahap tirani, (3) tahap penyalah gunan wewenang otoritas negara untuk kepentingan penguasa, (4) tahap pengamanan dari munculnya ancaman dimana penguasa selalu memandang kelompok kritis sebagai lawan, dan
(5) tahap keruntuhan. dimana sistem kekuasaan tidak lagi berfungsi.

Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu
(1) Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya, (2) Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan , menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
(3) Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad.

Yang menarik pada bangsa Indonesia dalam perspektip teori Ibnu Khaldun adalah berkumpulnya tiga generasi dalam kurun waktu hanya setengah abad. Dewasa ini angkatan 45 yang dapat dikategorikan sebagai generasi pertama masih banyak orang-orangnya, tetapi dalam kurun waktu yang sama juga sudah muncul generasi kedua dan ketiga.
Kasus mega KKN di Pertamina, kasus Bank Bali dan adanya arsitek kerusuhan sosial di berbagai daerah merupakaan indikator keberadaan generasi kedua dan ketiga.

Ibn Khaldun sebagaimana juga Rousseau, meyakini bahwa masyarakat yang pada mulanya baik atau sekurang-kurangnya netral itu dirusak oleh peradaban. Dalam kondisi nomadik, masyarakat cenderung bersifat jantan, sehat dan agressif. Peradaban kota yang mapanlahlah yang membuatnya menjadi lesu, pasif dan lamban, tetapi memancing-mancing invasi yang membuatnya terpuruk sebagai mangsa. Adalah sangat menarik bahwa dalam satu masa ternyata masyarakat Indonesia terbagi dalam lima kelompok zaman, (a) ada kelompok masyarakat yang sudah hidup dalam zaman ultra modern, yakni di kota-kota besar, (2) masyarakat modern, (3) masyarakat tradisionil di kampung-kampung pedesaan, (4) masyarakat terbelakang seperti suku-suku terasing, dan (5) masih ada masyarakat yang hidup pada zaman batu seperti yang masih terdapat di pedalaman Irian Barat. Dapat dibayangkan bagaimana tingkat rusaknya tatanan masyarakat Indonesia ketika mereka harus menerima paket peradaban global yang seragam melalui media elektronik.

Apresiasi orang Indonesia terhadap Ibnu Khaldun antara lain dengan mengabadikan namanya pada dua universitas, yaitu Universitas Ibnu Chaldun Jakarta dan Universitas Ibnu Khaldun Bogor, masing-masing dengan singkatan UIC dan UIK. Jika bangsa Indonesia setiapkali melakukan suksesi kepemimpinan nasional mengalami kesulitan dan memakan biaya yang sangat mahal, maka ada contoh yang sangat baik dari sunnah suksesi kepemimpinan Universitas Ibnu Khaldun Bogor.
Sejak Rektor dijabat oleh AM Saifuddin, jabatan kepemipinan di Universitas itu itu tidak lagi “sakral” tetapi benar-benar fungsional. Pertukaran jabatan dari rektor ke dekan atau ke Pembantu rektor dan sebaliknya berlangsung secara mekanis tanpa beban psikologis. Rais Ahmad yang menjadi rektor tanpa beban psikologis sedikitpun pada periode berikutnya menjabat sebagai Pembantu Rektor.
Memang contoh Ibnu Khaldun ini kalah spektakuler dengan kasus Khalid bin Walid, yang menerima secara kesatria kebijakan Khalifah Umar bin Khatttab menurunkannya dari jabatan Panglima ke prajurit biasa.