Dr Heng Chin Tiong MBBS dari Rumah Sakit Tan Tock Seng Singapura, didampingi dokter dan perawat dari rumah sakit PGI Cikini, mendemonstrasikan penggunaan ESWL. [Foto: Ignatius Liliek]

Tembak batu”. Mungkin istilah ini agak asing terdengar di telinga masyarakat umum. Tetapi di RS PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) Cikini Jakarta Pusat, istilah itu akan sering terdengar. Misalnya, “Silakan tunggu, dokter sedang tembak batu”. Atau, “Maaf, bapak harus menjalani tembak batu”. Memang, di RS yang sejak dahulu terkenal dengan pusat urologinya, penggunaan teknik itu untuk menyembuhkan pasien-pasien yang mempunyai batu di ginjal, sudah kerap dijalankan.

Bila dahulu pasien dengan batu ginjal harus menjalani operasi terbuka, maka sekarang tidak lagi. Cukup dengan tembak batu, maka dalam sehari pasien bisa langsung pulang dan tidak meninggalkan bekas operasi.

“Untuk pasien dengan batu ginjal yang masih berukuran kurang dari 1 sentimeter, 90 persen langsung hilang dengan satu fase penembakan,” kata ahli urologi RS PGI Cikini, Dr Eben Ezer Siahaan ketika berbincang dengan Pembaruan.

Terapi tembak batu yang memanfaatkan gelombang kejut untuk menghancurkan batu ini, dijelaskan Eben, sebenarnya sudah dipraktikkan di RS Cikini sejak 18 tahun lalu. Tetapi alat yang terbaru bernama extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), mempunyai presisi yang jauh lebih akurat dibanding generasi sebelumnya.

Dilengkapi monitor yang mempunyai perlengkapan ultrasonografi (USG), letak batu lebih terlihat dengan baik.

Menurut Eben, secara teoretis tidak ada perbedaan penanganan antara batu ginjal yang besar dan kecil, dengan menggunakan ESWL. Tetapi kuantitasnya akan berbeda-beda. Bila kurang dari 1 sentimeter, dengan sekali fase penembakan akan selesai. “Satu fase adalah jumlah tembakan yang bisa diterima oleh tubuh sebanyak 3.000 ketukan. Berapa kali seseorang boleh menjalani terapi ini, tidak ada batasan,” katanya.

Teknologi

Perkembangan teknologi semacam ini, jelas dia, sangat membantu bagi pasien-pasien yang mempunyai batu ginjal. Apalagi penyakit ini tak mengenal usia. “Semua usia bisa mengalami batu ginjal, termasuk anak-anak. Misalnya orang yang tinggal di NTT, mereka rentan terkena batu ginjal karena kondisi air di sana tinggi zat kapur. Faktor lain yang menimbulkan batu ginjal adalah metabolisme atau karena asupan cairan yang kurang,” katanya.

Karena itu, tips praktis agar ginjal tetap sehat tentunya adalah dengan meminum 1.800-2.000 mililiter air per hari. Untuk Indonesia, jelas dia, sering kali kondisi itu diketahui saat sudah terlambat. Pada saat itu, batu di ginjal sudah besar, sehingga tembak batu tidak cukup hanya dengan satu fase saja.

Padahal, deteksi dini tak sulit dilakukan. Adanya batu di ginjal dapat terasa dengan timbulnya rasa nyeri di pinggang. Rasa nyeri itu berbeda dengan nyeri infeksi. Bila infeksi, terasa sakit, tetapi kemudian hilang. Sementara nyeri, bila ada batu di ginjal, terasa sakit di pinggang yang terasa terus-menerus, meski sudah mengubah posisi, misalnya dari duduk menjadi berdiri. Nyeri itu timbul secara periodik yang disebut dengan istilah kolik. Tembak ginjal, lanjut Eben, kini dapat dilakukan dengan satu hari perawatan, tanpa perlu menginap. Setelah menjalani penembakan, maka batu akan keluar lewat urine.

Biaya pengobatan untuk kelas III dengan penggunaan ESWL adalah Rp 5,5 juta. Sayangnya, kemajuan di bidang kedokteran itu membuat orang sering ceroboh. Sekitar 10-15 persen pasien yang sudah menjalani tembak batu di RS Cikini kembali harus dirawat setelah tahun pertama perawatan. Angka kembali dirawat itu akan semakin tinggi di tahun kedua. “Biasanya orang menjadi ceroboh dan tidak menjalani pola hidup sehat. Padahal saya selalu menekankan kepada pasi- en bahwa untuk menghinda- ri munculnya batu, cukup minum air putih yang banyak, berolahraga dan menerapkan pola hidup sehat,” katanya.

Dalam situs Ikatan Dokter Indonesia (IDI), www.idionline.org, disebutkan bahwa batu ginjal merupakan salah satu penyebab gagal ginjal. Bila batu dibiarkan dalam ginjal, bisa memunculkan infeksi, sehingga menggerogoti fungsi ginjal. Akibatnya, fungsi mencuci darah pada ginjal tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini, penderita gagal ginjal terpaksa melakukan cuci darah dengan menggunakan mesin. Diduga infeksi ginjal kronis merupakan faktor penyebab kedua terjadinya gagal ginjal di Indonesia. Penyakit gagal ginjal, banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan makanan. Semakin makmur suatu masyarakat, semakin banyak kasus batu pada ginjal daripada kandung kemih.

Konsumsi minuman dan makanan yang kurang higienis, memicu air seni menjadi pekat, sehingga memudahkan terbentuknya infeksi atau kristal batu pada kandung kemih. Sedangkan, pola hidup masyarakat yang makmur menyebabkan infeksi terjadi di ginjal. Kebanyakan makanan yang dikonsumsi oleh kalangan berada adalah makanan dengan kadar kalsium oksalat tinggi. Misalnya makanan dengan olahan bahan susu, makanan bergaram tinggi, makanan dengan vitamin C dosis tinggi, kopi, teh kental, serta protein tinggi, sehingga memudahkan terbentuknya endapan pada ginjal karena konsentrasi air seni cepat meningkat.

Selain itu, yang tak kalah penting penyebab munculnya batu ginjal adalah faktor genetik. Orang yang mempunyai riwayat keluarga dengan batu ginjal mempunyai kecenderungan lebih besar terserang penyakit itu, daripada orang yang tidak mempunyai riwayat penyakit tersebut. [Pembaruan/ Alfi Syakila]