Andaikan pada sebuah panci berisi air kita
masukkan katak. Lalu panci tersebut kita
panaskan di atas kompor secara bertahap. Saat
air masih dingin katak diam saja. Kemudian
ketika air mulai memanas sedikit demi
sedikit, tubuh katak akan melakukan
penyesuaian suhu. Memang demikianlah salah
satu kekhasan binatang katak, dimana tubuhnya
bisa menyesuaikan diri dengan kondisi
sekitarnya.

Lama kelamaan saat suhu terus menaik, katak
pun merasa kepanasan. Tapi ia bisa terus
melakukan penyesuaian suhu. Sampai pada suhu
tertentu, dimana tubuhnya tak bisa lagi
melakukan penyesuaian, ia merasa kepanasan
dan ingin melompat keluar. Namun karena suhu
yang sudah tinggi tersebut, kakinya menjadi
kepanasan dan tak kuat untuk melompat. Ia
menjadi lemah. Sehingga akhirnya saat suhu
air dalam panci tersebut sudah demikian
tinggi, katak itu pun mati karenanya.
Demikianlah analogi teoritis mengenai proses
bagaimana seekor katak bisa mati terebus
dalam air, karena instink survival berjalan
berlawanan dengan instink penyesuaian diri
yang berlebihan.

Makna filosofis dari cerita fabel tersebut
sering berlaku pula pada manusia. Banyak
manusia yang terjatuh pada sebuah kesalahan.
Berbuat kesalahan yang fatal berawal dari
kesalahan-kesalahan kecil yang dianggap
biasa. Atau melakukan proses penyesuian diri
atau kompromi yang berlebihan sehingga
melupakan rasa mawas diri.

Seorang anak yang sedang bermain-main api,
diingatkan oleh ibunya, “Hai nak, janganlah
bermain-main api. Terbakar tanganmu nanti”.
“Nggak apa kok bu, apinya kecil kok”, kata
sang anak kecil. Namun seringkali terjadi api
kecil jadi membesar dan mencelakakan. Ibu
yang sudah puluhan tahun mengalami pengalaman
hidup menyadari hal tersebut. Namun anak
kecil yang baru beberapa tahun hidup di dunia
ini, sering meremehkan hal-hal kecil
tersebut.