Rumah KAR Bosscha yang dilestarikan.
Sisa hawa dingin malam sebelumnya masih terasa menggigit kulit ketika memasuki kawasan Wisata Agro Malabar, Jawa Barat, pada Minggu pagi, 3 Agustus lalu. “Pada puncak musim kemarau seperti sekarang ini, cuaca sedang dingin-dinginnya, terutama pada pagi hari,” kata Deni Fauzi, karyawan Wisata Agro Malabar. Bisa dimaklumi, Perkebunan Teh Malabar terletak di ketinggian 1.550 meter di atas permukaan air laut.
Namun, keadaan seperti itu tidak menghalangi rombongan pembaca setia Suara Pembaruan untuk segera melangkahkan kaki menembus jalan-jalan kecil di sela-sela pepohonan teh. Kegiatan yang diberi nama Tiwok 2008 pada Minggu pagi itu, diikuti 150 orang, sebagian besar pembaca setia sejak Suara Pembaruan masih terbit dengan nama Sinar Harapan, yang kemudian dicabut izin terbitnya oleh pemerintah pada Oktober 1986.
Sejauh mata memandang, pepohonan teh menghampar bagai permadani hijau menutup perbukitan. Pada bagian-bagian tertentu, permukaan hamparan teh itu memantulkan warna keemasan ditimpa sinar matahari pagi. Udara terasa segar. Spontan, siapa pun tergerak untuk menghirup udara bersih memenuhi paru-paru. Sungguh kemewahan yang langka ditemui di perkotaan.
Rombongan Tiwok Suara Pembaruan kemudian dipecah menjadi dua regu. Satu regu menempuh jalur pendek 2,5 kilometer, satu regu lagi menempuh jalur lima kilometer ke arah Gunung Nini. Namun, kelompok itu kemudian terpecah lagi, karena ada yang memilih menempuh jarak lebih pendek, kurang dari dua kilometer pergi-pulang, menuju makam Karel Albert Rudolf Bosscha, yang mendirikan kebun teh Malabar.
Di antara regu terakhir itu, terlihat Marlina Hadi. Pada usia menginjak kepala delapan, ia tak melewatkan waktu untuk ikut acara jalan-jalan di kebun teh dan memilih mengikuti rombongan kecil yang melongok makam Bosscha. Sebaliknya, di barisan yang menempuh jalur panjang, terlihat Juan Santosa. Murid kelas satu sekolah dasar berusia 6,5 tahun itu tampak sangat menikmati perjalanan.
Acara jalan-jalan di kebun teh itu diakhiri dengan acara makan siang bersama, menyantap menu masakan Sunda, sambil mendengarkan lagu-lagu yang dibawakan para biduan dengan iringan organ.
Warisan Bosscha
Perkebunan teh Malabar, yang juga dikenal dengan nama Wisata Agro Malabar, termasuk perkebunan tua. Perkebunan teh yang sekarang masuk dalam wilayah administrasi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII itu dibuka pada 1890, dan dikenal menghasilkan teh dataran tinggi bermutu. Berada di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan air laut, suhu udara rata-rata 16 derajat celsius sampai 25 derajat celsius.
Letak perkebunan teh itu 45 kilometer di sebelah selatan Kota Bandung, di kaki Gunung Malabar. Memerlukan waktu satu setengah sampai dua jam menuju lokasi dengan berkendaraan santai, karena selepas Kota Kabupaten Soreang, kota kabupaten terdekat dengan kebun teh, jalannya berliku-liku.
Selain terkenal dengan produk tehnya, kawasan itu juga dikenal karena keindahan pemandangan alamnya, dan pernah menjadi lokasi pengambilan gambar film Petualangan Sherina. Karena dibangun pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda, kawasan itu tentu menyimpan tempat-tempat bersejarah. Di tempat itu juga masih bisa dijumpai Wisma Malabar, yang aslinya dibangun pada 1894 sebagai kantor administratur perkebunan Malabar, sekaligus sebagai rumah tinggal KAR Bosscha. Bangunan lain, Wisma Melati, dibangun pada 1898. Bangunan itu dulunya rumah tinggal wakil administratur perkebunan. Kini Wisma Melati disewakan untuk wisatawan. Rumah para pemetik teh yang dibangun pada 1890 sebagai rumah asli Sunda tempo dulu, juga masih dipertahankan otentisitasnya.
Satu tempat bersejarah yang wajib dikunjungi adalah makam KAR Bosscha, tak jauh dari Wisma Malabar. Makam itu terletak di hutan kecil, di tengah-tengah kebun teh. Kondisinya terawat, dikelilingi pagar, dan tanaman coleus warna-warni menghiasi halamannya. Pemandu dari Wisata Agro Malabar menceritakan, tempat ini dahulunya merupakan tempat Bosscha melepas lelah setelah menginspeksi kebun teh.
Bosscha tiba di Indonesia pada 1887 pada usia 22 tahun, untuk mempelajari budi daya teh di Jawa Barat. Pada 1896, ia mendirikan Perkebunan Teh Malabar dan kemudian dikenal sebagai administrator perkebunan-perkebunan teh di Kecamatan Pangalengan, sampai meninggalnya pada 26 November 1928. Selama 32 tahun masa jabatannya di perkebunan teh itu, ia mendirikan dua pabrik teh.
Selain dikenal sebagai administrator kebun teh, Bosscha, menurut catatan PTPN VIII, juga dikenal banyak menyumbangkan pikiran, tenaga, dan dana bagi kepentingan-kepentingan sosial dan pembangunan Kota Bandung, seperti Observatorium Bosscha di Lembang, Bala Keselamatan di Jalan Jawa, sekolah bagi penyandang tunarungu dan tunawicara, Telefoon Maatschappij voor Bandung en Preanger di Jalan Tegallega (kini PT INTI), serta kompleks Nederlands-Indische Jaarbeurs (Pekan Raya) yang kini menjadi kantor Kologdam.
Bosscha menjadi ketua Biro Spesialis Teh pada 1910, ketua Pertanian Percobaan pada 1917, dan menjadi anggota dewan penyantun untuk Tehnische Hogereschool (kini ITB) sampai 1928. Ia juga mendirikan Institut Kanker dan yang pertama kali memperkenalkan satuan hektare dan kilometer untuk menggantikan satuan tradisional pal dan bahu. Atas jasa-jasanya, ia diangkat sebagai warga kehormatan Kota Bandung dan kini namanya diabadikan pula sebagai nama sebuah jalan di utara Bandung.
Gunung Nini
Selain jalan kaki di sela-sela kebun teh menghirup udara bersih, tamu perkebunan teh Malabar juga bisa memanfaatkan sarana olahraga tenis, bola voli, bulutangkis, dan berenang di Kolam Renang Air Panas Tirta Camelia. Perkebunan teh yang memproduksi teh hitam jenis Orthodox itu, juga membuka pintu bagi wisatawan yang ingin melihat cara pemetikan teh dan pengolahan teh.
Di areal Wisata Agro Malabar seluas 2.032 hektare, wisatawan bisa mengunjungi air terjun Cilaki, main perahu di Situ Cileunca, serta menikmati permandian air panas Cibolang. Catatan PTPN VIII menyebutkan Bosscha menggagas pembangunan pembangkit listrik tenaga air di kawasan air terjun Cilaki, sebagai penyedia energi listrik bagi pabrik teh dan perumahan karyawan.
Tempat lain yang juga jadi tujuan wisata di kawasan itu adalah Gunung Nini. Walaupun hanya sebuah bukit, tempat itu banyak dikunjungi wisatawan untuk menikmati pemandangan indah dari pegunungan yang melingkungi Malabar, Situ Cileunca. Satu momentum yang sering ditunggu-tunggu wisatawan adalah menunggu saat matahari terbit di antara Gunung Wayang dan Gunung Windu.
Belakangan ini, hutan lindung di depan kompleks Wisma Malabar dibuka untuk lokasi pasar kaget pada hari Minggu. Bagi tamu yang datang dari kota-kota besar, pasar kaget bisa menjadi pilihan untuk berburu menu masakan tradisional.
Peserta Tiwok 2008, misalnya, tak menyia-nyiakan kesempatan mengantre di sebuah gerai makanan yang menawarkan menu unik. Gerai itu menjual nasi merah, nasi hitam, nasi putih, lengkap dengan lauk-pauk khas Sunda, seperti aneka pepes, sayur jengkol, empal, wader goreng, aneka gorengan jeroan, tempe dan tahu goreng bumbu kuning, sambal goreng kentang, kikil kuah, dan rambak goreng. Beberapa peserta, kalangan ibu rumah tangga, bahkan ada yang membeli nasi hitam yang terbuat dari beras hitam sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Jakarta.
Di gerai lain bisa ditemukan masakan tutut, bahasa lokal untuk siput air tawar. Menu unik lain adalah jajanan tradisional, seperti urap jagung, cimol, cenil, dan ketan urap kinca. Makanan tradisional itu terselip di antara penjual baju, sepatu, dan mainan.
Pangalengan sendiri, sangat dikenal dengan produk susu sapi perahnya. Diversifikasi produk susu sapi itu kini bisa diperoleh wisa- tawan yang berkunjung ke kawasan itu sebagai oleh-oleh. Salah satunya, yang terkenal adalah permen susu yang disebut milk caramels. Selain permen susu, produk serbasusu yang lain adalah dodol susu dan kerupuk susu. [SP/Sotyati]
KOMENTAR