Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit febris akut yang berbahaya dan bahkan dapat menjadi fatal, yang disebabkan oleh virus dengue.
“Penyakit ini ditandai dengan peningkatan permiabilitas kapiler, hemostatis abnormal, dan pada kasus lanjut terjadi shock syndrome (Dengue Shock Syndrome/ DSS),” ujar dr Tony Chandra, Msi Med, SpA, spesialis anak dari Siloam Hospitals Surabaya.
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh flavivirus yang ditularkan melalui vektor arthropoda, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Di seluruh dunia diasumsikan setiap tahunnya terdapat 50 sampai 100 juta penderita demam dengue (DD) dan 250 hingga 500.000 penderita DBD. Di samping itu, DBD dan DSS merupakan penyebab utama perawatan dan kematian anak di Asia.
Tony Chandra lebih lanjut menjelaskan, di Indonesia, kasus DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968. Sejak tahun 1994 seluruh provinsi di Indonesia melaporkan kasus DBD dan pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota besar di Indonesia.
Kematian dan kecacatan akibat DBD disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain usia, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue, dan kondisi meteo-rologis.
“Pada musim pancaroba, kasus DBD sangat meningkat, hal ini disebabkan oleh kelembapan udara yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dalam menggigit. Suhu udara yang lebih tinggi kemungkinan memperpendek masa inkubasi ekstrinsik, yang berarti meningkatkan peranannya dalam penularan virus dengue,” kata Tony.
Waktu Menggigit
Jam menggigit nyamuk ini agak khas. Ia hanya menggigit pada waktu tertentu, terutama pada pukul 07.00, 11.00dan 17.00. Nyamuk ini juga memiliki jarak terbang sekitar 30 sampai 100 meter setiap harinya.
Penyakit menular ini terutama menyerang anak-anak dengan ciri demam tinggi mendadak antara 2 sampai 7 hari, disertai perdarahan dan bertendensi untuk menimbulkan syok. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan trombosit 100.000/mm3 dan hemokonsentrasi (peningkatan kekentalan darah).
Berbagai pemeriksaan penunjang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis, antara lain X-thorak foto, USG, pemeriksaan IgM dan IgG anti-dengue, dan lain-lain. Akibat perembesan cairan dari pembuluh darah dan perdarahan yang aktif, aliran darah ke berbagai organ akan berkurang, sehingga kiriman oksigen dan nutrisi berkurang.
Untuk mengatasi hal ini, tubuh mengkompensasi dengan “mengorbankan organ yang kurang penting”, sehingga didapati kaki tangan dingin yang merupakan salah satu pertanda syok, sehingga WHO membagi derajat DBD menjadi empat, yakni DBD derajat I sampai IV.
Yang sering menjebak ialah, terjadinya penurunan suhu pada hari ke empat, di mana orangtua sering menganggap penyakit anak telah sembuh karena suhu turun, padahal keadaan ini merupakan awal masa kritis demam berdarah. Apabila kita perhatikan, kurva suhu DBD seperti “pelana kuda”.
Setelah mengetahui bahaya dan cepatnya penularan DBD, hendaknya kita pahami tentang prinsip pengobatannya. Tony menjelaskan, penanganan DBD masing-masing derajat akan berbeda, tetapi pada dasarnya, prinsip pengobatan DBD adalah mengganti kehilangan cairan sesegera mungkin akibat perembesan cairan di pembuluh darah.
Apabila didapatkan anak dengan panas tinggi dua hari berturut-turut, tampak lemas bisa disertai perdarahan, segeralah dibawa ke dokter untuk dilakukan pemeriksaan dengan teliti. Bila terjadi kecurigaan atau terbukti DBD, harus segera mendapatkan pengobatan, bahkan perawatan di rumah sakit.
Anak DBD dengan berat badan dan kondisi tertentu, bahkan bisa memerlukan cairan lebih dari empat liter perhari. Terlambat memberikan cairan akan berakibat syok dan kegagalan multiorgan, yang bisa berujung pada kematian, sehingga penanganan cepat dan pemantauan ketat sangat diperlukan sejak dini.
Begitu pula pada saat repooling, di mana setelah hari kelima cairan yang merembes keluar kembali lagi ke pembuluh darah, sangat penting diperhatikan karena bisa menimbulkan berbagai komplikasi seperti sesak dan gagal jantung. Terapi lainnya ialah terapi suportif dan terapi simptomatis.
Pencegahan lebih baik dari pengobatan. Begitu pula pada DBD, kita hendaknya melakukan pencegahan dengan pemberantasan sarang nyamuk antara lain dengan cara menguras, mengubur, menutup (3M), fogging (pengasapan), dan abatisasi. [PR/M-15]
KOMENTAR