foto-foto:Hendro Situmorang
Al-Qur’an terbesar di dunia yang berukuran 1,5 x 2 meter.
Museum Al-Qur’an, yang lebih dikenal dengan Bayt Al-Qur’an, adalah pilihan yang tepat untuk dikunjungi pada bulan Ramadan ini. Selain lebih meningkatkan pengetahuan tentang agama, mengunjungi museum ini juga meningkatkan pengetahuan tentang kekayaan budaya Indonesia.
“Setiap Muslim berusaha memelihara, mencintai dan mengamalkan kandungan isinya, menjaga otentisitas, dan menerima pesan yang dikandungnya…” Pesan berbingkai rapi, yang tercetak dengan ukuran satu kali setengah meter itu, langsung menyapa ketika melangkahkan kaki memasuki museum. Pesan itu dipajang di dinding ruang pamer Museum Al-Qur’an.
Museum Al-Qur’an menyimpan materi inti, yang merupakan hasil pemahaman, pengkajian, dan apresiasi umat Islam Indonesia terhadap kitab sucinya. Manuskrip Al-Qur’an adalah seni mushaf Al-Qur’an yang telah lama berkembang di Indonesia, sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, yang disalin indah dengan ragam hias yang khas.
Museum Al-Qur’an itu memamerkan beragam mushaf kuno yang diperoleh dari berbagai daerah. Di antaranya Mushaf La Lino dari Kerajaan Bima, Nusa Tenggara Barat, Mushaf Pusaka (1950) hadiah dari Istana Negara Republik Indonesia, hingga seni mushaf modern di Indonesia, seperti Mushaf Istiqlal (1995), Mushaf Wonosobo (1994), Mushaf Sundawi (1997), Mushaf at-Tin (1999), dan Mushaf Kalimantan Barat (2003).
“Di museum ini terdapat koleksi Al-Qur’an berbagai jenis, bahkan Al-Qur’an terbesar di dunia yang berukuran 1,5 x 2 meter. Koleksi itulah yang menjadi daya tarik, dan banyak pengunjung yang menanyakannya. Al-Qur’an itu ditulis oleh dua santri Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah, yang bernama Abdul Malik dan Hayatuddin,” kata Alfar Firmanto, salah satu staf bagian koleksi pameran Museum Al-Qur’an TMII, awal pekan ini.
Al-Qur’an itu, ia menambahkan, ditulis selama 14 bulan, dari 16 Oktober 1991 hingga 7 Desember 1992. Al-Qur’an terbesar tersebut, ditulis dengan Khat Naskhi, di atas kertas karton manila putih. Selain itu, ada pula Al-Qur’an terkecil yang berukuran 2 x 3 cm, yang dinamakan Al-Qur’an Istanbul, karena awalnya dicetak di Istanbul, Turki.
Koleksi lainnya adalah Al-Qur’an Pusaka yang ditulis atas prakarsa Presiden pertama RI Soekarno. Al-Qur’an itu dianggap sebagai hadiah dari umat Islam untuk kemerdekaan. Al-Qur’an Pusaka ditulis oleh Salim Fachry, dimulai 24 Juli 1948 sampai 15 Maret 1950. Ukuran halamannya 75 x 100 cm, dan ditulis di atas kertas karton manila putih. Tidak ketinggalan, bisa dijumpai Al-Qur’an dalam huruf Braille untuk para penyandang tunanetra.
Sesuai dengan perkembangan teknologi, terdapat pula Al-Qur’an elektronik, yang dikemas dalam bentuk perangkat elektronik dan digital, seperti kaset, CD, VCD, DVD, serta handphone. Koleksi Al-Qur’an tersebut diletakkan di dalam kotak kaca, untuk menjaga keamanannya.
Sementara itu, terdapat Lembaga Lajnah Pentashihan Mustaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI yang bertugas meneliti dan menjaga keaslian Al-Qur’an, yang akan dicetak dan disebarluaskan di Indonesia. Setiap mushaf Al-Qur’an yang akan disebarluaskan, harus diperiksa terlebih dahulu agar kebenaran dan keaslian teksnya tetap terjaga.
Koleksi menarik yang lain dari museum tersebut adalah karya seni Qur’ani, yaitu benda-benda budaya yang menjadi ekspresi dan memiliki makna khusus di masyarakat Indonesia, pada masa lalu maupun pada masa kini. Benda-benda itu mengandung simbol-simbol Qur’ani yang terbuat dari kayu, batu, kain, keramik, logam, dan lain-lain. Sebagian besar mengandung unsur kaligrafi yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi.
Di belakang Museum Al-Qur’an, terdapat Museum Istiqlal yang menampilkan hasil-hasil karya seniman Muslim Indonesia dari berbagai daerah. Di tempat tersebut, terdapat karya-karya seni rupa kontemporer dan seni rupa tradisional.
Museum Al-Qur’an terletak di dekat Pintu Keluar Satu Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur. Tepatnya, di belakang Museum Telekomunikasi. Tidak sulit untuk menjangkaunya. Dari arah Cililitan, cukup naik kendaraan umum melewati TMII, begitu juga dari arah Pasar Rebo. Namun, amat disayangkan pada bulan Ramadan seperti ini, museum itu justru sepi pengunjung.
Peti Mushaf Istiqlal untuk menyimpan Al-Qur’an.
Kaligrafi bersulam di atas bludru berukuran 550 x 200 cm asal Sumatera Barat.
Awal Pendirian
Ide awal pendirian Museum Al-Qur’an muncul dari Tarmizi Taher pada 1994, ketika ia menjabat Menteri Agama RI. Museum Al-Qur’an dan Museum Istiqlal didirikan untuk meningkatkan kecintaan, pemahaman, dan pengamalan ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Nilai-nilai Al-Qur’an telah mengilhami, mendorong, dan memperkaya budaya bangsa Indonesia. Karena itu, kekayaan budaya Indonesia yang bernapaskan Islam dalam berbagai bentuknya, perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Kekayaan budaya Islam yang dimiliki bangsa Indonesia tampak jelas pada Festival Istiqlal yang diselenggarakan pada 1991 dan 1995. Pameran besar tersebut telah membuka mata dunia akan potensi besar kekuatan Islam bangsa Indonesia, terutama dari sisi budaya. Seusai acara tersebut, pembangunan Museum Al-Qur’an merupakan bentuk kristalisasi dari seluruh cita-cita dan pemikiran, untuk menampilkan dan mengaktualisasikan kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya yang bernapaskan Islam.
Museum dibangun pada 1996, dirancang dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadis, yang merupakan pegangan hidup umat Islam. Museum Al-Qur’an dan Museum Istiqlal diresmikan Presiden Soeharto pada 20 April 1997, sebagai tonggak perkembangan dan kebesaran Islam di Indonesia.
Selain itu, pembangunan juga tetap mempertahankan kaidah arsitektur yang berusaha mencapai keselarasan antara keindahan dan fungsi. Museum Al-Qur’an dirancang oleh arsitek Achmad Noe’man.
Bentuk Museum Al-Qur’an merupakan suatu citra arsitektur tradisional dengan sentuhan modern. Bentuknya bujur sangkar, dengan atap tumpang limasan, atap susun yang semakin ke atas semakin kecil, dengan jumlah selalu ganjil, yaitu tiga sampai lima tingkat. Pembangunannya mengacu pada Masjid Agung Demak, salah satu masjid tertua dan bersejarah di Pulau Jawa.
Seluruh bangunan Museum Al-Qur’an dan Museum Istiqlal terdiri atas 3,5 lantai dan satu lantai dasar, serta sebuah masjid. Luas keseluruhan bangunan kurang lebih 17.000 meter persegi. Bangunan tersebut terlihat megah, memanjang dengan berorientasi ke arah kiblat. Tempat itu dilengkapi toko cendera mata, kafetaria, dan perpustakaan.
Pada hari-hari biasa, museum dikunjungi 100 hingga 150 orang per hari, dengan jumlah total sekitar 3.000 pengunjung dalam sebulan. Pengunjung dipungut biaya masuk Rp 2.000 untuk dewasa dan Rp 1.000 untuk anak-anak. Selama bulan Ramadan ini, jam buka Museum Al-Qur’an pukul 09.00 sampai 15.00 WIB. [Hendro Situmorang]
KOMENTAR