Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di tepi
trotoar daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat, sedang
matahari kian memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya tertarik
utuk memperhatikan seorang bapak tua yang tengah termangu di tepi jalan
dengan sebuah gerobak kecil yang kosong. Bapak itu duduk di trotoar.
Matanya memandang kosong ke arah jalan.

Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan. Pak Jumari,
demikian namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang
biasa menjajakan barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta
Timur. “Tapi kok gerobaknya kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?”
tanya saya.

Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas panjang-panjang
seakan hendak melepas semua beban yang ada di dadanya, lelaki berusia
limapuluh dua tahun ini menggeleng. “Gak ada minyaknya.”

Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan,
katanya, pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. “Saya
bingung. saya pasti gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi
harus jualan apa. modal gak ada.keterampilan gak punya..” Pak Jumari
bercerita. Kedua matanya menatap kosong memandang jalanan. Tiba-tiba
kedua matanya basah. Dua bulir air segera turun melewati pipinya yang
cekung.

“Maaf /dik/ saya menangis, saya benar-benar bingung. mau makan apa kami
kelak.., ” ujarnya lagi. Kedua bahunya terguncang menahan tangis. Saya
tidak mampu untuk menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan kata-kata.
Tangan saya mengusap punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu mengurangi
beban hidupnya.

Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana.
“Dia kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar sekolahnya
di SMP. Dia mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat
dia.. Adiknya juga putus sekolah dan sekarang ngamen di jalan. Sedangkan
dua adiknya lagi ikut ibunya ngamen di kereta. Entah sampai kapan kami
begini .”

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.

Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang
melingkar di leher. “/Dik/, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada
pemerintah kita, kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana, keadaan
saya dan banyak orang seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarang
ini. Saya dan orang-orang seperti saya ini cuma mau hidup sederhana,
punya rumah kecil, bisa nyekolahin anak, bisa makan tiap hari, itu saja.
” Kedua mata Pak Jumari menatap saya dengan sungguh-sungguh.

“/Dik/, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati… mungkin
kehidupan di sana lebih baik daripada di sini yah…” Pak Jumari
menerawang.

Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati
menceritakan keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat kita,
oleh mereka-mereka yang duduk di atas singgasananya. Saya yakin Pak
Jumari juga sudah tahu dan saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam
membanting tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras
darah pun mereka mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya.
Mereka sangat rajin bekerja, tetapi mereka tetap melarat.

Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup
mewah dari hasil merampok uang rakyat. Uang rakyat yang disebut
‘anggaran negara’ digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah,
fasilitas alat komunikasi yang canggih, rumah dinas yang megah, gaji dan
honor yang gede-gedean, uang rapat, uang transport, uang makan,
akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala macam fasilitas gila
lainnya. /Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah! /

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya bekerja
untuk mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat mensejahterakan
diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para lintah darat yang
menghisap dengan serakah keringat, darah, tulang hingga sum-sum
rakyatnya sendiri. Mereka sama sekali tidak perduli betapa rakyatnya
kian hari kian susah bernafas. Mereka tidak pernah perduli. Betapa
zalimnya pemerintahan kita ini!

Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para
pejabat bisa hidup mewah terus saja berlangsung. Ketika rakyat antri
minyak berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam mobil
mewah yang dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di kasur empuk
hotel berbintang yang dibiayai dari uang rakyat, dan melancong ke luar
negeri berkedok studi banding, juga dari uang rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil
berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu
merah, beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan. Di
tepi jalan, poster-poster pilkadal ditempel dengan norak. Perut saya
mual dibuatnya.

Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. “Nak,
ini nasi bungkus yang engkau minta.” Dia makan dengan lahap. Saya tatap
dirinya dengan penuh kebahagiaan. /Alhamdulillah/ , saya masih mampu
menghidupi keluarga dengan uang halal hasil keringat sendiri, bukan
numpang hidup dari fasilitas negara, mengutak-atik anggaran negara yang
sesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah yang mengisap kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang. Saya tidak tahu
apakah malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya berdoa
agar Allah senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti Pak
Jumari, dan memberi hidayah kepada para pejabat kita yang korup.
Mudah-mudahan mereka bisa kembali ke jalan yang benar. Mudah-mudahan
mereka bisa kembali paham bahwa jabatan adalah amanah yang harus
dipertanggungjawabk an di mahkamah akhir kelak. Mudah-mudahan mereka
masih punya nurani dan mau melihat ke bawah.

Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium
keringat anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi
sesuap nasi, bukan berkeliling kota naik sedan mewah…

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui
konglomerat dan pejabat… Mudah-mudahan mereka lebih sering berkeliling
ke wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal…

Amien Ya Allah.